Surakarta, 5 Juli 2025 --- Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pemikiran Hukum Muhammadiyah: Perspektif Filosofis, Teori dan Praktik" di Ruang Seminar Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari ikhtiar MHH untuk merumuskan arah pembaruan hukum nasional berbasis nilai-nilai profetik sebagai tawaran khas dari Muhammadiyah.
FGD ini mempertemukan berbagai tokoh hukum nasional, akademisi, dan praktisi dari berbagai bidang. Salah satu sorotan utama adalah perlunya pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani sebagai kerangka berpikir hukum Muhammadiyah dalam menjawab tantangan hukum kontemporer---mulai dari ketimpangan sosial hingga kompleksitas hukum global.
Dalam sambutannya, Dr. Busyro Muqoddas menekankan pentingnya epistemologi hukum profetik yang tidak hanya bersandar pada teori Barat, tetapi juga mengakar pada nilai keadilan, kemanusiaan, dan spiritualitas Islam. Ia menyoroti dominasi warisan hukum kolonial dan tekanan hukum internasional yang masih membelenggu sistem hukum Indonesia saat ini.
"Indonesia butuh transformasi hukum yang menjunjung keadilan substantif dan keberpihakan pada rakyat. Hukum profetik mengandung potensi untuk itu," ujar Busyro.
Sementara itu, Prof. Nurul Barizah mengajak peserta untuk melihat hukum sebagai alat rekayasa sosial yang harus berpihak pada martabat manusia. Ia menyoroti urgensi membumikan nilai-nilai profetik dalam sistem legislasi nasional melalui penguatan kelembagaan, kurikulum hukum, dan pembentukan indikator penilaian hukum yang berbasis pada maqasid syariah dan nilai-nilai universal.
FGD juga menyoroti isu-isu strategis seperti ketimpangan digital, dampak pembangunan industri terhadap masyarakat kecil, dan lemahnya perlindungan sosial akibat proyek strategis nasional. Dalam konteks ini, MHH PP Muhammadiyah mendorong pentingnya pembentukan Fiqh Advokasi, pusat data advokasi online, serta sinergi antara nilai religius dan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI).
Dalam sesi diskusi, Dr. Bambang Widjojanto menyampaikan pentingnya "hukum transendental" dalam menjawab tantangan disrupsi digital, bias algoritma, hingga krisis etika global. Ia menegaskan bahwa hukum harus menjadi kompas moral, bukan sekadar alat kekuasaan.
"Dalam dunia yang digerakkan oleh teknologi dan kapitalisme, hukum yang transendental diperlukan agar tidak kehilangan roh kemanusiaannya," tegas Bambang.
Sebagai langkah konkret, FGD ini juga merekomendasikan penyusunan scorecard profetik untuk menilai rancangan undang-undang (RUU), sertifikasi kompetensi hukum profetik, dan pembentukan Komisi Profetik Nasional untuk mengawasi keselarasan hukum nasional dengan nilai-nilai keadilan profetik.
FGD ini menegaskan peran strategis Muhammadiyah sebagai civil society dalam pembaruan hukum Indonesia, sekaligus membuka ruang kolaborasi antara negara, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membangun sistem hukum yang adil, manusiawi, dan berkeadaban.