Muhammad Hamzah, Makassar 20 Mei 2012 - Dzikir itu mengingat dan menyebut. Dzikrullah = mengingat dan menyebut Allah. Hati-hati. Bisa jadi kita menyebut Allah tapi pada saat yang sama mengingat selain Allah. Bila ini yang sering terjadi/kita lakukan, pantas bila kita (mengaku) sering berdzikrullah namun diri tetap tidak tenang.
Sulitkah mengingat Allah? Ya dan tidak. Ya bagi yang belum kenal Allah dan tidak bagi yang telah mengenalNya. Kita semua telah mengenalNya, jadi tidak sulit untuk mengingatNya. Kenal dulu baru ingat. Tak ada ingat tanpa kenal. Awwalu ad diin ma'rifatullah (Imam Ali ibn Abi Thalib karramallah wajhah), titik awal pemahaman/pengalaman/pengabdian (ad diin) adalah ma'rifatullah: mengenal Allah swt.
Pengenalan itu pengakuan. Mengenal berarti mengakui, bukan meng-AKU-(i). Mengakui berkaitan dengan ketundukan kepada yang diakui dan kelemahan dihadapan yang diakui. Apa yang kita akui? Bahwa Dia adalah rabb diri: Dia adalah Pencipta diri, Pengelola/Pengurus diri.
Pengenalan (pengakuan) ini dinamakan syahadah, kesaksian. Menyerahkan diri kepadaNya untuk diurus adalah wujud pengakuan, wujud kesaksian. Kenal lalu mengakui kemudian menyerahkan diri. Ma'rifah, syahadah, kemudian islam. Wujud penyerahan diri, islam, adalah menyerahkan "kekuatan", ke-AKU-an diri: keinginan, tekad, motif, cita-cita, impian, gairah, nafsu, dan sejenisnya kepada Allah. Dengan ini, kita menjadi 'powerless', lemah tak berdaya. Nol. Kosong. Tak berkeinginan. "Mati".
Kita sudah menyerahkan diri kepada Allah swt. Apa responNya? Setiap penyerahan diri, islam, yang diridhaiNya dibalas. "Kekuatan" diri yang sudah kita serahkan dibalas (diganti) dengan "kekuatan" yang berasal dariNya. Bolehlah sejenak berimajinasi tentang "kekuatan" Allah ini. Silahkan.
Sudah?
Keinginan diri diganti menjadi keinginan Allah. Tujuan diri diganti dengan tujuan Allah. Target diri diganti menjadi target Allah. Arah diri diganti menjadi arah Allah. Visi diri menjadi visi Allah.
Ketika diri sudah menyerahkan kekuatannya kepada Allah, diri menjadi 'kosong', 'mati'. Karena sudah 'kosong', maka diri bisa diisi oleh kekuatan dari pihak lain. Karena diserahkan kepada Allah, maka yang mengisi diri kembali adalah Allah. Bila diserahkan kepada Iblis, maka yang 'mengisinya' adalah Iblis.
Pengisian kembali oleh Allah merupakan shibgatullah, 'celupan' Allah swt. Shibgatullah ini tidak hanya sekedar 'mengisi', memenuhi wadah yang kosong, melainkan juga menggerakkan, menghidupkan yang mati sekaligus juga menyucikan, menjadikannya bersih, bercahaya, hingga mulia (kariim, akram).
Menyerahkan diri, islam, masuk ke dalam shibgatullah, celupan Allah. Setelah itu, keluar dari shibgatullah dalam keadaan: (1) 'penuh' visi, misi, target, cita-cita, keinginan, impian, arah Allah swt, (2) 'hidup' bergerak sesuai kendali perintah dan larangan Allah, (3) 'mulia', inna akramakum indallah atqaakum, bersih, bercahaya, berkilau, berharga.
Kita yang sudah keluar dari shibgatullah dalam tiga kondisi di atas kemudian berjalan/bepergian di atas permukaan bumi ke segala penjuru. Berinteraksi dengan segala macam kalangan manusia, mulai dari balita (al-insan), remaja (an-nas), dan manusia dewasa (al-mu'min) serta segala jenis makhluq: tumbuhan, hewan, dan segala yang ada di antara bumi dan langit.