Daik daerah yang berada disebelah selatan Pulau Lingga, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Suatu daerah yang berada di antara atau sekitar Sungai Daik dan Sungai Tanda. Daerah Daik terdiri dari kampung-kampung yang berada ditepi atau pun berdekatan dengan dua sungai. Tidak ada pantai atau tepi laut yang bisa kita kunjungi mengggunakan kendaraan. Kawasan pantai masih diselimuti hutan dan jauh dari pemukiman penduduk. Kita tidak bisa melihat pemukiman penduduk dari laut, dan untuk melihatnya harus masuk ke muara sungai.
Daik bagian dari dunia Melayu. Pada era Melaka wilayah Daik berada di bawah kekuasaan Raja Lingga yang bergelar maharaja. Wilayah Lingga berada di bawah takluk Melaka. Pada abad ke-16 Megat Kuning anak Megat Mata Merah datang dari Jambi ke Lingga dan menetap di Daik. Dia menjadi penguasa Lingga menggantikan Raja Lingga dan berada di bawah takluk Johor.
Keturunan Megat Kuning menjadi penguasa Lingga seterusnya bergelar Orang Kaya Lingga. Keturunannya yang tinggal disekitar Sungai Daik kemudian berpindah ke Cening wilayah tepi laut yang berada di sebelah selatan Daik. Setelah tinggal di Cening, berpindah lagi ke Pulau Mepar, sebuah pulau kecil disebelah selatan Pulau Lingga. Â Seluruh orang laut yang tinggal di atas perahu adalah rakyat Orang Kaya Lingga.Â
Tahun 1787 Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) yang tengah bermusuhan dengan VOC memindahkan pusat pemerintahan ke Daik. Pada masa itu yang berkuasa di Lingga Orang Kaya Lingga Megat Inu berkedudukan di Pulau Mepar. Sultan Mahmud Riayat Syah menjadikan Daik sebagai tempat kedudukan dan pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Dari Daik sultan melancarkan gerakan perlawanan terhadap VOC.
Akibat perjanjian London 17 Maret 1824, Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga mengalami keruntuhan. Sultan Abdurrahman Syah terpaksa melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Hal ini terpaksa dilakukan karena sejak tahun 1818 Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga telah jatuh ke tangan Belanda. Pada tahun 1830, sultan menyetujui memperbarui perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian ini sultan setuju melepaskan Johor dan Pahang berdasarkan Perjanjian London 17 Maret 1824.
Sejak perjanjian dibuat, secara resmi berdirilah Kerajaan Lingga-Riau dan sekaligus runtuhlah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Daik hanya sebagai tempat kedudukan Sultan Lingga-Riau. Tahun 1900 Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911), Sultan Lingga-Riau-5 sekaligus yang terakhir memindahkan tempat kedudukannya ke Pulau Penyengat, Riau. Sejak itu Daik berakhir sebagai tempat kedudukan sultan. Tahun 1911 Sultan Abdurrahman Syah dipecat Belanda. Tahun 1913 Kerajaan Lingga-Riau dihapus Belanda dan seluruh wilayah bekas kerajaan berada dibawah langsung Pemerintah Hindia Belanda.
Daerah Daik pada masa kini terbagi menjadi dua wilayah administrasi pemerintahan yakni Kelurahan Daik yang terletak disebelah kiri mudik Sungai Daik dan Kelurahan Daik-Sepincan berada diseberangnya. Daerah Kelurahan Daik menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Lingga dan Kabupaten Lingga. Daik daerah paling teramai dan mempunyai fasilitas paling lengkap di Pulau Lingga. Daik bukan daerah kota yang mempunyai pusat perbelanjaan mal, dan supermarket. Kita hanya bisa menemukan kedai kelontong dan beberapa buah kedai swalayan. Di Daik tidak ditemukan berbagai tempat hiburan seperti di kota. Hanya ada beberapa cafe dan selebihnya kedai kopi biasa yang sebagian tutup pukul 12 malam. Hanya terdapat dua Bank yakni Bank BRI dan Bank Riau Kepri. Keduanya menyediakan layanan ATM.
Kita tidak akan menemukan pelabuhan kapal penumpang di Daik. Untuk berangkat kita perlu pergi ke pelabuhan yang berada di desa lain. Hanya ada beberapa dermaga kecil di Sungai Daik tempat kapal kargo kayu labuh jangkar yang membawa kebutuhan pokok masyarakat. Tidak banyak kapal yang berlabuh, hanya ada satu atau dua buah selebihnya kapal nelayan. Daik tidak punya lapangan kapal terbang, dan jika helikopter ingin mendarat, kendaraan itu menggunakan lapangan sepak bola.
Tidak ada layanan transportasi online di Daik. Karena wilayah perkampungan yang tidak ramai, sejak dulu tidak ada layanan kendaraan roda empat untuk transportasi umum yang berkeliling membawa penumpang. Hanya ada ojek, dan sekarang sulit ditemukan ojek berkeliling. Supaya lebih mudah kita harus memesan terlebih dahulu lewat panggilan telpon. Sepeda motor dan kendaraan roda empat juga bisa disewa perhari.
Terdapat penginapan yang tersebar di beberapa kampung. Semua penginapan tidak menyediakan restoran, dan tidak mempunyai dobi. Untuk mencuci pakaian terdapat usaha dobi  yang tersebar di beberapa kampung. Hanya ada tiga penginapan yang mempunyai aula yang bisa disewa. Daik daerah aman untuk para pengunjung. Kendaraan yang terparkir di halaman rumah masih aman walau pun kuncinya  kita biarkan melekat.
Orang Daik adalah orang Lingga, namun orang Lingga belum tentu orang Daik. Jumlah penduduk Daik yang terdiri dari dua kelurahan sejumlah 4.695 jiwa (BPS, 2024). Orang Melayu penduduk mayoritas di Daik. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Melayu Daik yang sama dengan dialek Melayu Riau (Riau di Pulau Bintan). Suku bangsa minoritas lainnya terdiri dari orang Cina, Banjar, Jawa, dan lain-lain. Mayoritas orang Melayu Daik  beragama Islam ahlussunnah wal jamaah, bermazhab Imam Syafi'i, akidah Asya'ariyah, dan menerima tasauf. Berbagai tradisi budaya Melayu masih dipertahankan masyarakat. Dalam satu tahun terdapat berbagai tradisi yang dilaksanakan penduduk.
Daik rawan banjir karena berada di tepi aliran dua sungai. Sebagian besar daerah pemukiman rawan banjir karena berada didaratan rendah yang mudah digenangi air sungai yang meluap. Jika Sungai Tanda dan Sungai Daik yang berhulu di gunung meluap besar, sebagian besar pemukiman akan terendam dan mengakibatkan kendala berbagai aktifitas masyarakat. Masa kini bagian hulu sungai yang masih dapat dijangkau air pasang laut dan sering dijadikan tempat mandi penduduk tidak lagi aman, karena sering muncul buaya yang datang dari hilir.
Jika bicara tempat wisata alam, Daik sangat sedikit mempunyai objek wisata alam yang mudah dan nyaman untuk dikunjungi. Berbagai tempat yang layak  dijadikan tempat wisata alam sulit untuk dikunjungi. Gunung Daik salah satu menjadi objek wisata alam. Puncak gunung bercabang tiga menarik perhatian buat para pendaki. Wisata ini tidak bisa menarik semua orang. Hanya orang yang mempunyai kekuatan fisik yang baik yang mampu mendakinya.
Kita akan menemukan berbagai peninggalan sejarah era Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga Kerajaan Lingga-Riau. Objek-objek itu antara lain makam sultan, masjid, kubu pertahanan, reruntuhan istana, meriam dan lain-lain. Sebagian objek bersejarah dalam keadaan terbiarkan dan dalam proses terus menuju kerusakan. Diantara objek bersejarah yang terbiarkan adalah meriam-meriam berkarat yang berada di alam terbuka.
Daik bukan daerah yang ekonominya digerakkan oleh dunia industri. Tidak ada pabrik yang menampung ratusan orang karyawan, dan hanya ada sebuah pabrik sagu di hilir Sungai Tanda  yang mempunyai beberapa orang pekerja. Pabrik ini telah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Penduduk Daik bekerja sebagai buruh, nelayan, pedagang kecil, pegawai pemerintah daerah dan lain-lain. Karena sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Lingga,  anggaran pemerintah daerah yang mengalir ke Daik menggerakkan ekonomi dan pembangunan. Sekiranya Daik tidak menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lingga, daerah ini kemungkinan besar akan jauh tertinggal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI