Sebagai mahasiswa yang mempelajari ekonomi internasional, saya melihat kebijakan kontraksi moneter oleh The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat layaknya sebuah “gempa ekonomi” yang getarannya terasa hingga ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. . Langkah The Fed menaikkan suku bunga secara agresif sejak 2022 hingga pertengahan 2023, yang dikenal sebagai kontraksi moneter, bertujuan menekan inflasi di AS. Namun, kebijakan ini membawa dampak yang kompleks bagi negara berkembang, khususnya Indonesia, terutama dalam hal stabilitas nilai tukar rupiah dan aliran modal.
Ketika The Fed secara agresif menaikkan suku bunga acuannya sejak 2022 untuk mengendalikan inflasi di dalam negeri mereka, dampaknya bukan sekadar angka-angka di laporan keuangan, melainkan langsung menyentuh kehidupan sehari hari. Rupiah yang melemah membuat harga barang impor mulai dari gadget hingga bahan bakar ikut naik, tekanan inflasi pun meningkat dan daya beli masyarakat tertekan. Dari sudut pandang saya, kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap kebijakan eksternal, terutama pada pergerakan dolar AS dan arus modal jangka pendek.
Di balik tantangan kontraksi moneter The Fed, Indonesia perlu memperkuat ketahanan ekonomi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan modal asing jangka pendek, serta mendorong diversifikasi ekonomi dan ekspor.
Ketika The Fed menaikkan suku bunga, imbal hasil aset berdenominasi dolar AS menjadi lebih menarik, sehingga investor global cenderung memindahkan dananya dari pasar negara berkembang ke aset-aset AS yang lebih aman dan menguntungkan. Akibatnya, nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang cukup besar, karena permintaan terhadap dolar meningkat, sementara aliran modal keluar dari Indonesia membesar. Pelemahan rupiah ini bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal, tetapi juga diperparah oleh kondisi defisit neraca perdagangan dan ketidakpastian politik domestik. Kondisi ini menimbulkan volatilitas pasar keuangan dan menambah beban bagi Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi.
Meski dalam beberapa bulan terakhir The Fed mulai menahan suku bunga di kisaran 4,25%-4,50% dan bahkan mulai memberikan sinyal akan melakukan pemangkasan suku bunga secara bertahap sepanjang 2025. Hal ini memberikan harapan besar bagi pasar negara Indonesia untuk mendapat Kembali aliran modal asing serta meredam tekanan rupiah. Tetapi, investor masih berhati-hati terhadap kemungkinan inflasi lanjutan dan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi dunia. Di tengah situasi ini, peran Bank Indonesia menjadi sangat penting, yaitu mempertahankan suku bunga acuan yang stabil, mengendalikan inflasi domestik, serta memperkuat stabilitas sistem keuangan. Langkah ini penting agar Indonesia tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal sekaligus menjaga daya beli masyarakat.
Saya percaya, kebijakan global memang tidak bisa kita kendalikan, tetapi kita bisa memperkuat daya tahan ekonomi nasional agar tidak mudah terdampak. Bank Indonesia dan pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti intervensi di pasar valas dan menjaga cadangan devisa. Namun ke depan, fokus kita juga harus diarahkan pada pembangunan ekonomi yang lebih inklusif, produktif, dan mandiri. Karena pada akhirnya, fondasi ekonomi yang kuat dari dalam negeri sendirilah yang akan menjaga Indonesia tetap kokoh di tengah badai global.
Referensi
CNBC Indonesia, “ The Fed Kembali Tahan Suku Bunga, Beri Kode Keras Soal Resesi AS (2025)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Medan Area, “Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Melalui Diversifikasi: Strategi dan Manfaat” (2024)