Mohon tunggu...
Meyiya Seki
Meyiya Seki Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menatap langit malam mencari sebuah jawaban untuk sebuah pertanyaan. Jika tuhan itu memang ada, kenapa harus dia?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapa Bilang Atheis Tidak Punya Standar Moralitas ?

8 Agustus 2013   19:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:30 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebuah pernyataan menarik yang mencuat dari seorang Kompasianer dalam menanggapi tulisan saya yang berjudul Kisah Abdullah yang Beriman pada Tuhan bukan pada Agama, yakni bahwa atheis kalah telak ketimbang theis karena atheis tidak memiliki standar moralitas.

Pada dasarnya, dapat saya amini bahwa theis memiliki sebuah patokan apa yang dianggap sebagai bermoral dan apa yang dikatakan sebagai tidak bermoral yang semuanya mengacu pada apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan dalam text book bernama kitab suci. Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa apa yang dilakukan menurut kitab suci bisa serta merta dianggap sebagai bermoral.

Tetapi tentu saja pendapat tersebut adalah pendapat yang berdasarkan prinsip Konsekuenlis, yakni prinsip theologis yang menempatkan outcome sebagai patokan apakah suatu keputusan atau tindakan dapat disebut sebagai bermoral atau tidak bermoral.

Dalam prinsip Konsekuelis yang digunakan oleh theis, maka hasil akhir dari sebuah keputusan menjadi penentu apakah sebuah keputusan atau tindakan disebut bermoral atau tidak bermoral. Jika hasil akhir yang diperkirakan adalah sesuai dengan keyakinannya, maka hal tersebut dianggap sebagai bermoral. Singkatnya, ada pertimbangan berdasar egoisme dan utilititarianisme dalam prinsip Konsekuenlis. Dasar egoisme adalah bahwa keputusan atau tindakan tersebut bermoral karena membuahkan hasil semisal mendapat berkah dari tuhan, diridhoi tuhan atau bahkan mendapatkan surga. Dasar utilitarianisme adalah bahwa keputusan tersebut bermoral sebab memberikan utility yang lebih besar jika dibandingkan dengan keputusan alternatif lainnya, maka sering kita mendengar bahwa dalam sebuah dilema akhirnya diambil sebuah keputusan dengan membandingkan antara manfaat dan mudharat. Ketika lebih besar manfaat, maka hal tersebut dinyatakan sebagai bermoral.

Di luar prinsip Konsekuenlis, masih terdapat prinsip Non-Konsekuenlis, yakni prinsip deontologis yang berisi seperangkat aturan. Outcome atas keputusan yang spesifik tidak relevan untuk digunakan dalam menentukan apakah suatu keputusan itu bermoral atau tidak bermoral. Non-Konsekuenlis mengedepankan bahwa moral dibangun diatas prinsip hak dan prinsip keadilan. Prinsip hak adalah pengakuan atas hak atau moral seseorang, yang diasosiasikan dengan kewajiban untuk tidak melanggar hak pribadi dan hak orang lain. Sedangkan prinsip keadilan diasosiasikan dengan hak, keadilan dan keseimbangan, yang menghormati hak dan perlakuan secara adil. Selain itu, sebuah keputusan atau tindakan bisa dianggap menjadi bermoral atau tidak bermoral dengan mempertimbangkan situasi spesifik yang dihadapi.

Kita bisa membandingkan kedua prinsip di atas dengan mengambil sebuah contoh nyata yakni kasus pernikahan mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri (40) dengan Fany Octora (18) yang hanya berdurasi empat hari.

Jika kita mengacu pada standar moral theis yang menganut prinsip Konsekuenlis, maka apa yang dilakukan oleh mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri adalah memenuhi standar moral sesuai dengan agamanya yakni Islam. Pernikahan yang sah dan perceraian yang sah. Walaupun pernikahan hanya berusia empat hari dan alasan perceraian adalah bahwa Fany Octora telah tidak perawan, dianggap tidak etis, namun hal tatacara dari keputusan tersebut mau tidak mau tetap adalah sebuah keputusan yang memenuhi standar moral sesuai dengan aturan-aturan boleh atau tidak boleh menurut agama yang diyakininya.

Karenanya tidak heran bahwa akhirnya kaum alim ulama pun kembali mengusung Aceng HM Fikri untuk kembali mencalonkan diri sebagai bupati Garut karena keputusan dan tindakan Aceng HM Fikri tidak dinilai melanggar standar moral yang diyakini. Saya yakin banyak theis yang tidak mengamini tindakan Aceng HM Fikri tersebut sebagai tindakan yang etis dan bermoral, namun sebagai theis yang menggunakan standar boleh tidak boleh menurut kitab suci sebagai patokan bermoral atau tidak bermoral, maka apa yang dilakukan oleh Aceng HM Fikri harus diterima sebagai tindakan yang tidak melanggar moral. Dalilnya sangat sederhana yakni hal tersebut sah dan diperbolehkan oleh agama Islam, yang mana aturan Islam adalah standar moral yang digunakan oleh Aceng HM Fikri.

Tetapi, bagi atheis dari prinsip Non-Konsekuenlis, keputusan dan tindakan Aceng HM Fikri dianggap tidak etis dan tidak bermoral, karena tidak etis dalam budaya ketimuran kita sebuah rumah tangga tidak dibangun berdasarkan perawan atau tidak perawannya seorang perempuan yang dijadikan sebagai istri.

Dengan penjelasan ini, kiranya menjadi jelas bahwa tidak tepat menyatakan bahwa atheis kalah telak karena atheis tidak memiliki standar moralitas sedangkan theis memiliki standar moralitas. Baik theis maupun atheis masing-masing memiliki standar moralitas dengan prinsip yang berbeda. Theis memiliki standar moralitas berdasarkan prinsip Konsekuenlis sedangkan atheis memiliki standar moralitas berdasarkan prinsip Non-Konsekuenlis.

--- Meyiya Seki

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun