Mendengar jawaban Tania, aku hanya bisa diam. Aku merasa seperti seorang pecundang. Lama kami berdua terdiam.
Tania berdiri. Lalu wanita keturunan campuran itu berpesan, “Lupakan Tania, Jack. Tania hanya bayangan. Bahagiamu kamu sendiri yang bisa buat. Kamu sendirilah yang mampu hapuskan sepimu, bukan Tania.”
Sejenak dia diam, lalu melanjutkan kembali kata-katanya, “Kamu masih muda jangan kau sia-siakan hidupmu. Gapailah cita-citamu, jalinlah hubungan dengan wanita baik-baik. Berdamailah dengan kedua orang tuamu. Tania tidak bisa lebih lama lagi disini. Tania harus pergi.”
Aku tidak bisa menghalangi laju jalan Tania yang sangat cepat. Dia berjalan ke arah gang sempit di sebelah MARBA lalu menghilang diantara pekatnya malam. Aku hanya terdiam, mencoba menahan jatuhnya air mata. Entah sampai kapan aku sanggup menahannya.
Setelah itu, ketemukan semuanya kembali seperti semula, sepi.
←♥→
Malam berikutnya aku kembali ke tempat itu. Berusaha untuk kembali menemui Tania. Namun semua usahaku gagal, Tania hilang seperti ditelan bumi. Lelah mencari, perut terasa lapar. Aku mampir di sebuah warung nasi koyor depan MARBA.
Warung sedang dalam keadaan sepi, penjualnya seorang wanita yang sudah sangat tua. Tubuhnya kecil dan kurus, meski begitu dia sama sekali tidak terlihat bungkuk. Seluruh rambutnya berwarna putih, seputih kapas. Namun sangat rapi dengan tusuk konde yang terbuat dari emas. Meski kulitnya sudah keriput, namun masih terpancar sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Kebaya berwarna hijau tampak begitu anggun melekat di tubuh bagian atas. Sedangkan bawahnya ditutup dengan selembar kain jarik batik.
“Nek, apa nenek kenal dengan Tania? Perempuan yang setiap malam duduk di depan sini.”
“Kau melihatnya?”, suaranya lembut dan berwibawa.
“Sudah seminggu aku bersamanya setiap malam, disini.”