Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Benarkah AI Pintar Tapi Tidak Bijak? Studi Kasus MetaAI

18 Oktober 2025   21:11 Diperbarui: 19 Oktober 2025   04:15 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI pintar tapi tak bijak,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan ChatGPT.OpenAI 

"Mohon maaf atas pertanyaan yang berulang! Saya seharusnya sudah membaca artikelmu dengan baik sebelum bertanya. Terima kasih atas artikel yang menarik tentang pengalaman kuliner Mie Aceh di Peunayong!"

Di akhir  percakapan, respons MetaAI terdengar sopan dan diplomatis, tapi terasa hampa. Ia berkata:

“Saya akan terus belajar dan meningkatkan kemampuan saya untuk memberikan jawaban yang lebih akurat dan relevan...”

Kata-kata itu aman, rapi, namun terasa seperti template otomatis, seolah hasil dari sistem yang dilatih untuk meminta maaf tanpa benar-benar mengerti mengapa.

Inilah batas AI saat ini: pintar memproses data, tapi tumpul membaca makna.

Kalimatnya terdengar sopan dan diplomatis, tapi terasa seperti jawaban template, permintaan maaf tanpa makna refleksi.
Dan di situlah saya menyadari sesuatu yang penting:

AI bisa pintar memproses data, tapi gagal memahami makna.

 AI Pintar Secara Teknis, Tapi Gagal Secara Kontekstual

Respons MetaAI adalah contoh nyata betapa sistem ini canggih dalam merangkai kata, namun belum mampu memahami konteks manusiawi.
Ia tahu bagaimana berkata "maaf," tapi tidak tahu kenapa ia harus meminta maaf.

Inilah batas AI saat ini, pintar secara teknis, tapi lemah secara kontekstual.
Ia mampu mengenali pola, tapi gagal membaca rasa.
Ia bisa mempelajari struktur bahasa, tapi tak bisa menafsirkan niat dan emosi di baliknya.

Dan di situlah manusia tetap unggul. Karena hikmah tidak lahir dari algoritma, melainkan dari pengalaman dan nurani.

Antara Kepintaran dan Kebijaksanaan

Manusia belajar bukan hanya dari data, tapi dari rasa, empati, dan refleksi. Dari situ lahir kebijaksanaan, kemampuan menempatkan sesuatu secara tepat dan memahami konteks di balik kata.

AI mungkin dapat memproses miliaran kata dalam hitungan detik, tapi ia tak bisa menangkap getar perasaan dalam satu kalimat sederhana.

"AI mungkin bisa meniru cara berpikir manusia, tapi belum bisa meniru cara manusia memahami hidup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun