Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah berlalu. Di tengah sorai politik dan parade angka makro, publik mulai bertanya: ke mana arah ekonomi Indonesia sebenarnya dibawa?Â
Apakah kita sedang melanjutkan kapitalisme global yang semakin tak berwajah? Ataukah kita sedang mencoba menghidupkan kembali warisan pemikiran Sumitro Djojohadikusumo yang lama terpinggirkan?
Istilah Prabowonomics kini menjadi mantra baru. Ia digambarkan sebagai kebijakan ekonomi yang berfokus pada swasembada pangan, energi, dan air; penguatan industri nasional; serta penghapusan kemiskinan ekstrem.Â
Namun di balik jargon itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah Prabowonomics benar-benar berbeda dari kapitalisme teknokratik yang selama ini kita jalani?
Sumitronomics: Warisan yang Terlupakan?
Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Presiden Prabowo, adalah salah satu arsitek ekonomi Indonesia yang pernah bermimpi tentang kemandirian industri dan ekonomi berbasis moral bangsa.Â
Gagasannya tentang pembangunan yang berjiwa, bukan sekadar angka, kini mulai digaungkan kembali oleh tandem Prabowo--Purbaya.
Namun, apakah semangat Sumitronomics benar-benar hidup dalam kebijakan hari ini?Â
Ataukah ia hanya menjadi simbol romantik yang dipakai untuk membungkus kebijakan fiskal yang tetap bergantung pada utang, birokrasi gemuk, dan program populis tanpa teknokrasi yang memadai?
Kapitalisme yang Tak Pernah Pergi
Di sisi lain, kapitalisme global tetap menjadi arus utama. Neraca perdagangan surplus, IHSG menyentuh rekor tertinggi, dan investasi tumbuh hingga Rp942 triliun.Â
Tapi apakah semua itu benar-benar menyentuh rakyat?Â
Ketika program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Kopdes Merah Putih dinilai berpotensi menjadi bom waktu fiskal, kita patut bertanya: apakah kita sedang membangun ekonomi rakyat, atau sekadar mempercantik angka makro?