Disajikan bersama tofu puff, kerang hitam, tauge, telur rebus, dan sambal belacan, Laksa Melaka benar-benar memanjakan lidah dan meninggalkan kesan yang sulit dilupakan.
Beberapa tahun kemudian, setelah saya dewasa dan bisa bepergian sendiri, saya kembali ke Melaka. Kali ini bukan sekadar untuk berjalan-jalan, tetapi berburu rasa masa kecil yang dulu tersimpan di ingatan.
Rasanya seolah menyatukan masa lalu dan kini, tradisi dapur nenek Peranakan yang diwariskan lintas generasi dengan selera modern yang tak lekang waktu.
Asam Laksa Penang - Keberanian Rasa yang Segar dan Tajam
Dari Melaka, saya melanjutkan langkah ke utara, menuju Pulau Penang, surga kuliner yang tak pernah tidur. Di sinilah saya menemukan laksa yang sama sekali berbeda: Asam Laksa.
Tidak ada santan di sini. Kuahnya bening kekuningan, dibuat dari rebusan ikan kembung yang direbus hingga hancur. Asam jawa dan bunga kantan (kecombrang) memberi aroma khas yang segar dan tajam.
Sepiring Laksa Penang disajikan dengan mie, sayuran, cabai, daun mint, dan potongan nanas yang memberi kejutan rasa manis-asam.
Setiap suapan seperti menggugah seluruh indera, pedas, asam, dan segar berpadu sempurna.Â
Tak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai laksa dengan kepribadian paling "berani" di antara semuanya.
Laksa Singapura - Gurih, Pedas, dan Sedikit Asam
Singapura, yang modern dan dinamis, juga punya laksa kebanggaan. Di sudut Katong, saya menemukan versi laksa nyonya yang terasa lebih refined namun tetap kaya rasa.
Kuah santannya kental, dibuat dari rebusan kepala dan kulit udang, ebi kering, serta bumbu rempah seperti kunyit dan daun kesum. Mie beras dan bihun disajikan bersama udang, tahu goreng, fish cake, dan telur rebus.
Satu perasan jeruk limau di atasnya memberi kesegaran yang menyeimbangkan gurih santan.