Saya pernah bermain bersama mereka, menidurkan mereka, dan tetap mencari nafkah, semua dalam satu tubuh yang lelah tapi penuh cinta.
Saya tidak menyesali masa itu. Tapi saya tahu, banyak hal yang bisa dijalani dengan lebih baik jika saya punya ruang dan waktu yang lebih fleksibel.
Era Digital: Kesempatan yang Dulu Tidak Ada
Kini, saya melihat dunia telah berubah. Digitalisasi membuka ruang baru bagi para ayah untuk hadir di rumah bersama anak-anak yang masih kecil, tanpa harus meninggalkan produktivitas.Â
Menjadi bapak rumah tangga di era digital bukan lagi soal "mengorbankan karier," tapi soal merancang ulang cara kita bekerja dan hidup.
Seorang ayah kini bisa menjadi content creator, penulis, konsultan, pengajar daring, bahkan pebisnis online, semuanya dari rumah. Bahkan, mengurus perusahaan di luar negeri pun, saat ini bisa dilakukan dari rumah
Ia bisa menyuapi anak sambil menyusun strategi bisnis. Bisa menidurkan anak sambil menyelesaikan laporan. Bisa hadir secara fisik dan emosional, tanpa harus memilih salah satu.
"Rugi jika tidak bisa menjadi bapak rumah tangga di era digital ini."
Kalimat ini bukan keluhan, tapi ajakan. Ajakan untuk hadir, untuk berani memilih, untuk mendefinisikan ulang maskulinitas dan kesuksesan.
Refleksi: Dari Peran ke Makna
Menjadi bapak rumah tangga bukan berarti kehilangan identitas. Justru kita memperluasnya: dari pencari nafkah menjadi penjaga jiwa, dari pemimpin tim menjadi pemimpin hati.Â
Peran domestik bukan beban, tapi ruang spiritual yang memperkaya jiwa dan memperkuat ikatan keluarga.
Saya tidak lagi berada di fase itu. Anak-anak saya sudah besar dan dewasa. Tapi saya ingin berbagi kepada para ayah muda, para profesional yang sedang mempertimbangkan ulang arah hidupnya: jika anak-anak Anda masih kecil, dan Anda punya peluang untuk hadir lebih utuh di rumah, jangan ragu untuk mempertimbangkannya.