Di ruang kerja modern, komunikasi bukan lagi sekadar menyampaikan informasi. Ia telah menjadi seni bertahan, seni membangun relasi, dan kadang, seni menyelamatkan diri.Â
Di antara berbagai gaya komunikasi yang berkembang, dua istilah sering muncul dan kerap disalahpahami: sugar coating dan lip service.Â
Keduanya terdengar manis, namun dampaknya bisa sangat berbeda, baik secara etis maupun fungsional.
Sugar Coating: Kejujuran yang Dibungkus Empati
Sugar coating adalah cara menyampaikan kritik atau fakta pahit dengan kemasan yang lebih halus dan bisa diterima. Tujuannya bukan untuk menipu, melainkan untuk menjaga hubungan, menghindari konflik langsung, atau memberi ruang refleksi tanpa melukai.
Contohnya sederhana:
"Presentasimu sudah cukup bagus, mungkin bisa lebih kuat kalau data pendukungnya ditambahkan sedikit."
Di sini, kritik tetap tersampaikan, namun dengan nada yang membangun. Sugar coating menjadi jembatan antara kejujuran dan empati, terutama dalam lingkungan kerja lintas generasi, di mana gaya komunikasi bisa sangat berbeda.Â
Sugar coating bukan basa-basi, melainkan strategi komunikasi yang mempertimbangkan konteks sosial dan psikologis.
Lip Service: Janji Manis Tanpa Makna
Berbeda dengan sugar coating, lip service adalah ucapan manis yang tidak disertai niat, tindakan, atau komitmen nyata. Ia hadir sebagai pujian palsu, janji kosong, atau basa-basi yang hanya menjaga citra tanpa substansi.
Contohnya:
"Kami sangat menghargai kontribusi Anda," namun tak ada tindak lanjut, evaluasi, atau ruang pengembangan.
Lip service menciptakan budaya kerja yang penuh kepalsuan. Ia merusak kepercayaan, mematikan motivasi, dan membuat komunikasi menjadi transaksional. Di balik kata-kata manis, tidak ada niat untuk mendengar, berubah, atau memperbaiki.
Gen Z dan Penolakan terhadap Lip Service
Generasi Z sering kali dianggap terlalu blak-blakan, kurang sopan, atau tidak tahu etika komunikasi. Namun bisa jadi mereka hanya menolak budaya lip service yang tidak autentik.Â
Mereka lebih memilih kejujuran yang kadang terasa kasar, daripada pujian palsu yang tidak bermakna.
Di sisi lain, mereka juga perlu belajar sugar coating sebagai bagian dari life skill: menyampaikan kebenaran dengan empati, bukan dengan bentakan. Karena komunikasi bukan hanya soal isi, tapi juga cara menyampaikannya.
Budaya Kerja: Apa yang Sebenarnya Kita Wariskan?
Di banyak organisasi, sugar coating sering disalahartikan sebagai lip service. Padahal perbedaan keduanya terletak pada niat dan konsistensi.Â
Sugar coating menyampaikan kebenaran dengan kelembutan. Lip service menyembunyikan ketidaktulusan di balik pujian.
Jika kita membangun budaya kerja yang hanya menghargai kemanisan kata, tapi tidak memberi ruang bagi kejujuran dan proses, maka kita sedang menciptakan generasi yang pandai bicara tapi miskin makna.
Refleksi Pribadi: Komunikasi yang Menyelamatkan atau Menyesatkan?
Dalam pengalaman saya membina tim, mendampingi komunitas, dan menyaksikan dinamika generasi muda, saya melihat betapa pentingnya membedakan antara komunikasi yang empatik dan komunikasi yang manipulatif.Â
Sugar coating bisa menyelamatkan hubungan kerja. Lip service bisa menyesatkan arah organisasi.
Di tengah tuntutan profesionalisme, kita perlu bertanya:
Apakah kita sedang membangun budaya kerja yang jujur dan empatik, atau hanya memoles permukaan dengan kata-kata manis yang kosong?
Penutup: Komunikasi Bukan Sekadar Kata, tapi Niat dan Tindakan
Sugar coating adalah seni komunikasi. Lip service adalah seni menghindar.
Gen Z perlu belajar membungkus kejujuran dengan empati. Dunia kerja perlu berhenti membungkus kepalsuan dengan pujian.
Jika kita ingin membangun organisasi yang sehat, maka komunikasi harus menjadi jembatan, bukan topeng.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
__________________________
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI