Berbeda dengan sugar coating, lip service adalah ucapan manis yang tidak disertai niat, tindakan, atau komitmen nyata. Ia hadir sebagai pujian palsu, janji kosong, atau basa-basi yang hanya menjaga citra tanpa substansi.
Contohnya:
"Kami sangat menghargai kontribusi Anda," namun tak ada tindak lanjut, evaluasi, atau ruang pengembangan.
Lip service menciptakan budaya kerja yang penuh kepalsuan. Ia merusak kepercayaan, mematikan motivasi, dan membuat komunikasi menjadi transaksional. Di balik kata-kata manis, tidak ada niat untuk mendengar, berubah, atau memperbaiki.
Gen Z dan Penolakan terhadap Lip Service
Generasi Z sering kali dianggap terlalu blak-blakan, kurang sopan, atau tidak tahu etika komunikasi. Namun bisa jadi mereka hanya menolak budaya lip service yang tidak autentik.Â
Mereka lebih memilih kejujuran yang kadang terasa kasar, daripada pujian palsu yang tidak bermakna.
Di sisi lain, mereka juga perlu belajar sugar coating sebagai bagian dari life skill: menyampaikan kebenaran dengan empati, bukan dengan bentakan. Karena komunikasi bukan hanya soal isi, tapi juga cara menyampaikannya.
Budaya Kerja: Apa yang Sebenarnya Kita Wariskan?
Di banyak organisasi, sugar coating sering disalahartikan sebagai lip service. Padahal perbedaan keduanya terletak pada niat dan konsistensi.Â
Sugar coating menyampaikan kebenaran dengan kelembutan. Lip service menyembunyikan ketidaktulusan di balik pujian.
Jika kita membangun budaya kerja yang hanya menghargai kemanisan kata, tapi tidak memberi ruang bagi kejujuran dan proses, maka kita sedang menciptakan generasi yang pandai bicara tapi miskin makna.