Di sisi lain, muncul fenomena lain yang tak kalah menarik: sugar coating, atau dalam bahasa satir kita, sugar cacing. Istilah ini merujuk pada gaya komunikasi yang terlalu manis, penuh basa-basi, dan kadang terasa menjilat demi jabatan atau penerimaan sosial.
Menurut artikel Kompasiana, sugar coating bisa jadi bagian dari soft skill: menjaga komunikasi tetap cair, memilih kata yang halus, atau memberi apresiasi tanpa konflik. Tapi jika melewati batas etis, ia berubah menjadi strategi bertahan yang manipulatif.
Di tengah tudingan bahwa Gen Z defisit life skill, justru muncul generasi yang lihai dalam sugar coating, mampu tampil manis di depan atasan, tapi belum tentu siap menghadapi tekanan kerja nyata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa defisit life skill bukan soal kemampuan teknis semata, tapi juga soal kejujuran sosial dan integritas komunikasi.
Refleksi Pribadi: Dua Anak, Dua Jalan
Saya melihat langsung dinamika ini dalam keluarga saya.
Putri sulung saya, lulus tahun 2019, bahkan sebelum wisuda sudah direkrut untuk proyek kerja sama internasional. Setelah lulus, ia diangkat sebagai Staf Ahli Muda di sebuah kementerian. Namun setelah dua tahun, ia memilih mundur dan melanjutkan bisnis yang dirintis sejak kuliah, menandai transisi dari birokrasi ke kemandirian.
Putra saya, lulus tahun 2024, Gen Z sejati. Ia aktif sebagai asisten dosen, ikut riset kampus, dan mengambil sertifikasi. Tapi CV-nya yang solid tidak langsung menarik perhatian perusahaan besar. Ia akhirnya bekerja di konsultan lingkungan kecil, tetap sesuai bidangnya, meski jalurnya lebih sunyi.
Mereka berdua tidak defisit. Mereka hanya hidup di era yang berbeda, dengan struktur peluang yang tidak seragam.
Solusi: Bukan Menyalahkan, Tapi Menjembatani
Daripada menyalahkan Gen Z, kita perlu:
- Menyediakan onboarding dan mentoring lintas generasi Â
- Mengintegrasikan pelatihan life skill dalam pendidikan dan kerja Â
- Membangun budaya kerja yang inklusif dan reflektif Â
- Menghindari stereotip dan membuka ruang dialog dua arah Â
Kesimpulan