Ketika kilang tak kunjung berdiri, dan subsidi triliunan rupiah terserap bukan untuk masa depan, melainkan untuk menambal masa lalu.
Di ruang sidang Komisi XI DPR RI, akhir September 2025, suasana mendadak berubah. Bukan karena angka APBN yang membengkak, bukan pula karena grafik subsidi yang naik turun.Â
Tapi karena satu kalimat yang keluar dari mulut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kalimat yang tak biasa dari seorang teknokrat:
"Masalahnya bukan karena kita tidak bisa bangun kilang, cuma Pertamina memang malas-malasan saja."
Kalimat itu bukan sekadar kritik. Ia adalah ledakan frustrasi yang telah lama terpendam. Janji pembangunan tujuh kilang sejak 2018 tak satu pun terwujud.Â
Tawaran investor asing untuk membangun kilang ditolak dengan alasan "overcapacity," padahal Indonesia masih mengimpor 60% BBM dari Singapura. Dan setiap tetes impor itu, dibayar dengan subsidi yang terus membengkak.
Purbaya tidak sedang mengomentari angka. Ia sedang menegur mentalitas. Ia sedang menggugat sebuah budaya birokrasi yang nyaman dalam stagnasi.Â
Menkeu Purbaya  sedang mengingatkan bahwa APBN bukan mesin pengulangan, tapi seharusnya mesin perubahan.
Subsidi Energi: Penyangga Rakyat atau Penutup Kemandekan?
Pemerintah telah menganggarkan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 498,8 triliun untuk tahun 2025. Hingga Agustus, Rp 218 triliun sudah terserap.Â