Lonjakan ini bukan semata karena kebutuhan rakyat, tetapi karena sistem yang tak efisien. Kilang tak dibangun. Distribusi energi masih berlapis birokrasi.Â
Dan subsidi lebih banyak dinikmati oleh pemilik mobil pribadi, bukan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan.
Purbaya tidak menyalahkan subsidi. Ia justru membela fungsinya: melindungi daya beli rakyat kecil dari gejolak harga dunia.Â
Tapi ia menolak subsidi dijadikan selimut bagi kelemahan tata kelola. Ia ingin subsidi menjadi jaring pengaman, bukan tambalan untuk kebocoran struktural.
Pertamina di Titik Sorotan: Antara Janji dan Kenyataan
Pertamina, sebagai BUMN energi, telah lama berada di pusat harapan dan kekecewaan. Janji membangun kilang baru tak kunjung ditepati. Distribusi BBM masih boros dan tidak efisien.Â
Dan ketika kritik datang, jawaban yang muncul justru defensif: "overcapacity," "perlu kajian," "masih dalam proses."
Purbaya tidak menerima jawaban itu. Ia menyebutnya sebagai bentuk kemalasan institusional. Ia bahkan menyatakan siap memotong anggaran atau mengganti pimpinan jika proyek strategis terus mandek. Ini bukan sekadar teguran, tapi sinyal bahwa reformasi fiskal tak bisa lagi ditunda.
Tanggapan Pertamina: Kilang Balikpapan Sudah 96,5 Persen
Tak lama setelah kritik Menkeu menggema, Pertamina merilis pernyataan resmi. Mereka menegaskan bahwa proyek kilang RDMP Balikpapan telah mencapai 96,5 persen per akhir September 2025.Â
Kilang ini, yang akan meningkatkan kapasitas pengolahan dari 260 ribu menjadi 360 ribu barel per hari, diklaim akan rampung pada kuartal pertama 2026.