Di era AI, kita tidak lagi bekerja untuk menyelesaikan masalah. Kita bekerja untuk terlihat sibuk. Laporan penuh grafik, artikel penuh jargon, presentasi penuh slide dan semuanya tampak "jadi", tapi tidak menyentuh inti.
Survei BetterUp Labs terhadap 1.200 profesional menunjukkan:
- 63% merasa pekerjaan mereka semakin terfragmentasi sejak penggunaan AI
- 48% menghabiskan waktu memilah hasil AI daripada menyelesaikan tugas inti
- 72% menyatakan kualitas komunikasi internal menurun akibat banjir konten otomatis
Saya Pernah Mengalaminya
Di satu fase karier saya, saya menerima laporan strategi dari sistem AI yang katanya "berbasis data". Tapi saat saya telusuri, tidak ada analisis mendalam. Hanya pengulangan tren. Saya harus menyusun ulang semuanya, dengan intuisi, pengalaman, dan refleksi.
Dan saya sadar: AI bisa meniru gaya, tapi tidak bisa memahami urgensi manusia.
Workslop Bukan Soal Teknologi. Ia Soal Budaya.
Kita tergesa-gesa. Kita ingin hasil cepat. Kita mengadopsi AI tanpa membangun etika dan struktur kurasi. Kita lupa bahwa kerja bukan hanya soal output, tapi soal makna.
"Ketika kecepatan mengalahkan kedalaman, kita tak lagi bekerja. Kita hanya memproduksi."
Workslop terjadi ketika kita menyerahkan arah kepada mesin, dan berhenti bertanya: "Untuk siapa kita bekerja? Untuk apa kita menulis?"
Pemulihan Dimulai dari Kesadaran
AI bukan musuh. Ia cermin. Ia mempercepat apa yang kita beri. Jika kita beri kebingungan, ia akan menggandakan kekacauan. Tapi jika kita beri arah, nilai, dan refleksi, ia bisa menjadi mitra yang luar biasa.
Kita perlu membangun ulang budaya kerja yang:
- Memberi ruang untuk berpikir, bukan hanya mengeksekusi
- Mengintegrasikan AI sebagai mitra, bukan pengganti
- Mengedepankan kurasi, bukan sekadar produksi
Penutup: Kita Butuh Jangkar