Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Disney dan Kompas Ajaib yang Hilang

25 September 2025   21:45 Diperbarui: 25 September 2025   21:45 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI 

Ketika Rumah Imajinasi Tersesat di Dunia Nyata

Nostalgia yang Tak Pernah Usang

Dulu, Disney bukan sekadar studio, tetapi ia adalah jendela dunia.  

Setiap akhir pekan, anak-anak duduk rapi di depan televisi, menunggu kemunculan Mickey Mouse yang ceria, Donald Duck yang temperamental, dan Goofy yang kikuk tapi setia. 

Di ruang keluarga, tawa pecah saat Tom mengejar Jerry, meski itu bukan Disney, tapi tetap jadi bagian dari ritual menonton bersama.

Lalu datang era The Lion King, Beauty and the Beast, Aladdin, dan Mulan, kisah-kisah yang bukan hanya menghibur, tapi mengajarkan keberanian, cinta, dan pengorbanan. 

Lagu-lagu seperti "A Whole New World" dan "Circle of Life" menjadi soundtrack masa kecil yang tak terlupakan.  

Di bioskop, anak-anak menggenggam tangan orang tua mereka saat Simba kehilangan ayahnya. Di rumah, mereka menirukan suara Ariel bernyanyi di bawah laut. Dan di sekolah, mereka menggambar kastil Cinderella dengan awan-awan harapan di sekelilingnya.

Disney adalah rumah bagi mimpi. Tempat di mana imajinasi bertemu nilai. Tempat di mana anak-anak belajar menjadi manusia, dan orang dewasa belajar kembali menjadi anak-anak.

Namun kini, rumah itu tampak goyah. Kompas ajaib yang dulu menuntunnya kini seperti hilang di tengah kabut zaman.

Ketika Keajaiban Berubah Menjadi Agenda

Film seperti Lightyear dan Strange World bukan hanya gagal secara finansial, mereka ditolak oleh publik. Adegan ciuman sesama jenis, karakter transgender, dan narasi yang dianggap terlalu ideologis membuat banyak negara, termasuk Indonesia, menolak menayangkannya.

Disney kehilangan pasar Asia, Timur Tengah, dan sebagian Amerika Latin. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, kritik datang dari berbagai arah: konservatif, progresif, bahkan dari penggemar lama yang merasa "keajaiban" Disney telah berubah menjadi "agenda."

Angka yang Tak Lagi Bicara Keajaiban

  • Disney+ kehilangan lebih dari 1 juta pelanggan dalam satu kuartal.  
  • Saham Disney turun ke level terendah dalam satu dekade.  
  • Taman hiburan domestik mengalami penurunan pendapatan operasional sebesar 5%.  
  • Film Wish dan The Marvels gagal menembus ekspektasi box office.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah alarm. Tanda bahwa Disney tak lagi menjadi tempat pelarian yang aman bagi keluarga global.

Strategi Baru, Kepercayaan Lama Belum Kembali

Bob Iger kembali sebagai CEO. Waralaba lama seperti Moana dan Frozen dihidupkan kembali. Disney+ mulai fokus pada profitabilitas, bukan hanya jumlah pelanggan. Konten mulai disesuaikan dengan nilai lokal.

Namun pasar belum sepenuhnya percaya. Investor menunggu bukti. Penonton menunggu keajaiban. Dan Disney masih mencari arah.

Dunia yang Tak Lagi Sama

Gen Z lebih memilih TikTok daripada bioskop. Keluarga global lebih kritis terhadap nilai-nilai yang ditampilkan. Algoritma kini lebih menentukan nasib konten daripada imajinasi.

Disney tak bisa hanya mengandalkan nostalgia. Ia harus menemukan kembali kompas ajaibnya, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk kembali menjadi rumah bagi harapan.

Cahaya Kecil di Tengah Kabut

Film Inside Out 2 menjadi titik terang: menyentuh tema emosional yang relevan dan diterima luas oleh publik. Pasar Asia mulai terbuka kembali setelah Disney menyesuaikan konten dengan nilai lokal.

Namun investor tetap skeptis terhadap profitabilitas streaming dan arah jangka panjang perusahaan. 

Disney sedang belajar bicara kembali dengan dunia, tapi belum sepenuhnya didengar.

Tantangan yang Mengintai

Ketidakpastian naratif, ketergantungan pada waralaba lama, persaingan streaming yang brutal, penurunan saham, dan ancaman regulasi hak cipta karakter klasik.  

Disney bukan hanya menghadapi pasar, tapi juga menghadapi dirinya sendiri.

Mencari Kompas di Tengah Kabut

Disney sedang berada di persimpangan sejarah. Ia bisa menjadi simbol pemulihan budaya global, atau tenggelam sebagai korban dari krisis nilai dan pasar.

Yang jelas, keajaiban tak cukup. Ia butuh arah. Ia butuh keberanian untuk mendengar kembali suara publik yang dulu menjadikannya legenda.

Disney & Kompas Ajaib yang Hilang,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 
Disney & Kompas Ajaib yang Hilang,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Dan mungkin, seperti dalam dongeng, kompas itu tak hilang. Ia hanya tertutup kabut. Tinggal menunggu siapa yang berani meniupnya kembali.

Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)

_________________________

Catatan Penutup:  

Artikel ini bukan sekadar kritik terhadap Disney, tapi undangan untuk merenung: bagaimana kita menjaga ruang imajinasi bersama agar tetap inklusif, relevan, dan penuh harapan, tanpa kehilangan akar budaya yang menyatukan.

_________________________

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun