Apakah bunga rendah ini diterjemahkan menjadi akses pembiayaan yang lebih inklusif dan terjangkau?
Karena jika suku bunga turun tapi kredit tetap tersendat, maka hattrick itu hanya tercatat di layar, bukan di ladang.
Dana Rp200 Triliun Digelontorkan: Stabilitas atau Simpanan?
Pemerintah telah menggelontorkan dana jumbo senilai Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke lima bank Himbara.Â
Dana ini sebelumnya mengendap di Rekening Kas Umum Negara di BI, dan kini dialirkan untuk memperkuat likuiditas dan mendorong kredit ke sektor riil.
Namun, seperti yang ditulis oleh Paktuo Irwan dalam artikel lainnya [2], pertanyaan mendasarnya tetap: Â
Apakah dana jumbo ini benar-benar mengalir ke UMKM, atau hanya memperkuat kredit korporasi?
Data menunjukkan bahwa rasio alat likuid terhadap DPK melonjak di atas 20%, tapi pertumbuhan kredit hanya 7%. Artinya, likuiditas tinggi belum tentu berarti kredit mengalir ke pelaku usaha. Ada jeda antara kesiapan dana dan keberanian menyalurkan.
Mari kita tunggu, karena menggelontorkan kredit tentu tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ia membutuhkan tata kelola, mitigasi risiko, dan keberpihakan yang jelas.Â
Tapi justru di sanalah ujian sebenarnya: Â
- Apakah bank milik negara mampu menjembatani stabilitas makro dengan denyut mikro?Â
- Apakah dana publik yang digelontorkan benar-benar menyentuh publik yang paling membutuhkan?
Jika tidak, maka dana hanya mengalir di antara institusi, bukan di antara kehidupan. Â
Dan ekonomi rakyat tetap menunggu giliran, di pinggir layar yang terus bergerak.