Pada pagi yang cerah di bulan September 2025, sebuah konferensi pers yang biasanya dipenuhi angka dan grafik berubah menjadi panggung narasi yang mengguncang.Â
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dalam edisi perdana APBNKita di bawah kepemimpinannya, melontarkan kalimat yang tak biasa: "Data ini kondisi ekonomi yang sebenarnya, tanpa manipulasi BPS. Masa lalu... eh, boleh ngomong gitu ya?"
Kalimat itu bukan sekadar slip lidah. Ia adalah pintu masuk ke dalam dunia yang selama ini tertutup rapat: dunia statistik ekonomi yang dipoles, disusun, dan kadang, dalam tafsir publik, dipertanyakan.
Angka yang Bicara, Tapi Siapa yang Mendengarkan?
Dalam presentasi Kementerian Perdagangan yang menyusul, pemerintah memaparkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami lonjakan signifikan.Â
Sepanjang Januari hingga Agustus 2022, Indonesia mencatat surplus sebesar 29,5 miliar dolar AS, jauh melampaui capaian tahun sebelumnya yang hanya 6,5 miliar dolar. Kinerja ekspor meningkat hampir 28 persen, sementara impor naik sekitar 15 persen.
Di atas kertas, Indonesia tampak perkasa di tengah perang tarif global. Namun Purbaya mengingatkan bahwa sejak Mei, suplai uang ditekan. Ekonomi dicekik.Â
Dua mesin, fiskal dan moneter, tidak bergerak. Ia menyindir kebijakan sebelumnya yang menempatkan dana pajak di Bank Indonesia tanpa dibelanjakan, menyebabkan sistem keuangan "kering."
Pernyataan ini bukan hanya kritik teknis. Ia adalah koreksi naratif. Bahwa angka pertumbuhan 5,12 persen di triwulan II bukan hasil rekayasa, melainkan dampak bansos dan insentif yang baru terasa. Bahwa data bukan sekadar angka, tapi cerminan denyut ekonomi riil.
Blak-blakan yang Membakar Respons Publik