Sepiring Harapan, Sendok Kekuasaan:Â
Di sebuah dapur desa yang masih gelap oleh kabut pagi, seorang ibu mulai memasak nasi, telur, dan bayam sejak pukul tiga dini hari. Ia bukan chef hotel, bukan pegawai catering, melainkan bagian dari dapur gizi desa, tulang punggung program nasional yang kini dikenal sebagai Makan Bergizi Gratis (MBG).Â
Di balik aroma dapur itu, tersimpan harapan besar dan pertanyaan yang lebih besar: apakah program ini benar-benar memberi gizi, atau sekadar memberi ruang bagi sendok kekuasaan?
Mimpi Besar di Piring Kecil
Diluncurkan pada 6 Januari 2025 oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, program MBG bertujuan menurunkan angka stunting, meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan ibu hamil, serta mendorong perputaran ekonomi desa.Â
Pemerintah menargetkan Rp8 miliar per desa per tahun, dengan total anggaran nasional mencapai Rp71 triliun.
Inspirasi datang dari berbagai negara:
- Â Jepang dengan kyshoku-nya yang mendidik tanggung jawab.
- Finlandia yang memberi makan siang gratis untuk semua siswa.
- Brasil yang menyasar 40 juta anak melalui program gizi nasional.
- Amerika Serikat dengan subsidi federal untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Indonesia ingin bergabung dalam barisan negara yang percaya bahwa gizi adalah fondasi peradaban. Tapi mimpi besar itu segera berhadapan dengan realitas lokal yang tak selalu siap.
Capaian dan Catatan Luka
Hingga September 2025, MBG telah menjangkau 22,7 juta penerima manfaat di 7.644 SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Perputaran beras mencapai 5 ton per bulan per SPPG, membuka lapangan kerja baru dan menggerakkan koperasi desa.
Namun, di balik angka itu, tersimpan luka:
- 6.452 kasus keracunan makanan terjadi di 18 provinsi.
- Hanya 45% menu yang memenuhi standar gizi layak.
- Distribusi tidak merata, terutama di wilayah 3T.
- Belum ada regulasi formal seperti UU atau Perpres yang mengatur MBG secara nasional.