Ketika Keberanian Politik Bertemu Kecerdasan Algoritmik
Di satu sisi dunia, seorang gubernur menolak anggaran survei jalan Rp1,7 miliar dan mengajak warga melaporkan langsung lewat media sosial. Â
Di sisi lain, sebuah negara menunjuk sistem kecerdasan buatan sebagai menteri karena dianggap tak bisa berbohong, tak bisa berkolusi, dan tak punya kepentingan pribadi.
Sherly Tjoanda dan Diella bukan sekadar tokoh. Mereka adalah dua gugatan terhadap birokrasi lama yang lamban, mahal, dan sering kali tidak jujur. Â
Yang satu manusia, yang satu mesin. Tapi keduanya lahir dari satu sumber: ketidakpercayaan publik terhadap sistem yang sudah terlalu lama meminggirkan suara warga.
Titik Awal: Ketika Rakyat Tak Lagi Percaya
Diella diangkat sebagai menteri transparansi publik di Albania bukan karena kecerdasannya, tapi karena ketidakberpihakannya. Ia tidak punya keluarga politik, tidak bisa disuap, dan tidak bisa berbohong. Â
Diella adalah jawaban atas korupsi yang telah lama mengakar, bukan solusi sempurna, tapi simbol bahwa kejujuran bisa diprogram.
Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara, menolak survei jalan mahal dan mengajak warga mengirim video laporan lewat media sosial. Â
Tanpa vendor. Tanpa protokol. Tanpa honor. Â
Hasilnya? 270 laporan masuk dalam waktu singkat. Gratis. Cepat. Jujur.
Menurut BPKP (2023), rata-rata biaya survei infrastruktur di Indonesia mencapai Rp2,1 miliar per provinsi per tahun. Crowdsourcing berbasis media sosial bisa memangkas biaya hingga 90% jika dikelola dengan sistem verifikasi yang baik.
Teknologi: Alat yang Tunduk pada Niat