Sebuah Catatan dari Negeri yang Tak Pernah Selesai BelajarÂ
"Ketika janji pendidikan berubah menjadi luka, dan teknologi tak menyentuh tanah, hanya suara rakyat yang bisa mengingatkan arah."
Di negeri ini, pendidikan sering dijadikan janji. Janji untuk membebaskan. Janji untuk memodernkan. Janji untuk menyamakan langkah anak-anak dari Sabang sampai Merauke.Â
Tapi seperti banyak janji lain, ia sering patah di tengah jalan. Dan kali ini, janji itu patah dalam bentuk sebuah laptop.
Pada awal pandemi, ketika sekolah-sekolah ditutup dan anak-anak belajar dari rumah, pemerintah meluncurkan program besar: pengadaan 1,2 juta unit laptop Chromebook untuk sekolah-sekolah di daerah 3T.Â
Anggarannya fantastis, lebih dari sembilan triliun rupiah. Tujuannya terdengar mulia: menjembatani kesenjangan digital.Â
Tapi lima tahun kemudian, program itu berubah menjadi perkara hukum. Dan nama yang dulu dielu-elukan sebagai pembawa angin segar pendidikan, kini disebut sebagai tersangka.
Nadiem Makarim, mantan Mendikbudristek, resmi ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop.Â
Publik terdiam. Sebagian marah. Sebagian bingung. Sebagian bertanya: bagaimana bisa?
Di balik angka dan pasal, ada cerita yang lebih dalam. Chromebook yang dibagikan ternyata tak bisa digunakan di banyak sekolah.Â
Internet tak tersedia. Guru tak dilatih. Software yang dipasang tak relevan. Dan yang paling menyakitkan: anak-anak yang seharusnya belajar, justru makin jauh dari harapan.
Kejaksaan menemukan bahwa arahan penggunaan ChromeOS datang langsung dari Nadiem, bahkan sebelum kajian teknis selesai. Ada grup WhatsApp bernama "Mas Menteri Core Team" yang aktif sejak sebelum pelantikan.Â