Pada suatu pagi yang tenang, Yudi Latif menulis di Instagram tentang Bintang Mahaputera. Bukan sekadar tulisan, melainkan elegi yang menyayat:
"Bintang Mahaputera, yang dulu dipersembahkan untuk para pemikul beban republik, kini kerap jatuh menjadi sekadar bros pesta politik."
Kalimat itu menggema seperti lonceng peringatan. Di tengah hiruk-pikuk perayaan kenegaraan, simbol tertinggi penghormatan negara tampak kehilangan kemilau sejatinya.Â
Bintang yang dulu menyinari jalan bangsa kini menjadi lampu sorot panggung kekuasaan.
Dari Paru-Paru Separuh ke Jiwa yang Penuh
Kita pernah punya Jenderal Soedirman. Dengan paru-paru tinggal separuh, ia memimpin perang gerilya demi mempertahankan republik.Â
Kita punya Mohammad Natsir, yang dengan Mosi Integral menyatukan kembali Indonesia dalam bentuk NKRI.Â
Kita punya Ki Hadjar Dewantara, yang mendidik bangsa dengan jiwa dan merancang fondasi pendidikan nasional.
Di dada mereka, Bintang Mahaputera bukan penghias. Ia adalah penegas: bahwa pengabdian sejati tak butuh panggung, hanya butuh keberanian dan ketulusan.
25 Agustus 2025: Ketika Bintang Kehilangan Orbitnya
Pada tanggal 25 Agustus 2025, negara kembali menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada sejumlah tokoh. Namun publik bertanya: apakah mereka benar-benar telah menorehkan jasa luar biasa bagi bangsa?
Pertanyaan itu menggantung di udara. Sebab di era kini, sering kali penghargaan tak lagi jatuh ke pundak mereka yang berpeluh untuk republik, melainkan ke tangan yang rajin menyalami kekuasaan.Â
Simbol yang dulu sakral kini tampak seperti souvenir: bukan lagi mahkota pengabdian, melainkan bros pesta politik.