Pagi hari di kedai kopi kampung. Di balik koran pagi yang memuat angka-angka nasional, rakyat tetap menakar realitas ekonomi dari isi piring dan isi dompet.
Di bawah langit yang sama, angka-angka pertumbuhan ekonomi kerap dilantunkan seperti mantra yang meninabobokan. Dalam dokumen resmi negara, terpampang angka 5,12% untuk triwulan kedua tahun 2025 --- sebuah pertumbuhan ekonomi yang terlihat gagah dan meyakinkan.Â
Namun, di sudut-sudut kampung dan kota kecil, di kedai kopi pinggir jalan tempat rakyat bercengkerama, rasa optimisme itu tidak selalu hadir. Di sinilah cerita ini bermula.
Saya duduk di sebuah kedai kopi kampung, tak jauh dari pabrik yang dulu bising oleh suara mesin dan para buruh. Kini, kedai itu justru lebih ramai dari pabriknya. Beberapa pekerja yang dirumahkan mencari suasana, mencari kabar, atau sekadar mengisi waktu sambil memutar harapan.
"Katanya ekonomi tumbuh," celetuk seorang pemuda sambil menyeruput kopi hitam, "tapi di dompet saya masih minus."
Pernyataan itu mungkin terdengar sederhana, bahkan sinis, tapi ia mewakili kegelisahan yang nyata. Sebuah pertumbuhan ekonomi yang katanya membanggakan, tetapi tidak menyentuh denyut nadi kehidupan rakyat kebanyakan.
Pertumbuhan Nasional vs Realitas Lapangan
Menurut BPS, PDB Indonesia pada triwulan II 2025 tumbuh 5,12% (year-on-year). Sebuah angka yang secara kasat mata menjanjikan. Namun, mari kita tengok dapur produksinya.
Indeks Manufaktur PMI Indonesia menurut S&P Global menunjukkan angka 49,1 pada Juli 2025. Memang naik dari 46,9 di bulan Juni, namun masih berada di bawah ambang ekspansi (50).Â
Artinya, aktivitas industri manufaktur masih mengalami kontraksi. Ini adalah bulan keempat berturut-turut manufaktur Indonesia berada dalam fase menyusut.
Kontradiksi ini menyentil nalar: bagaimana bisa ekonomi tumbuh pesat sementara pabrik-pabrik justru meredup? Bukankah sektor industri pengolahan adalah tulang punggung PDB?
Ekspor Meningkat, tapi Bukan karena Industri Kuat
Dalam Berita Resmi Statistik (BRS) BPS 1 Agustus 2025, terlihat bahwa lonjakan pertumbuhan ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor.
- Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,82%, didorong oleh momentum Idul Adha dan tahun ajaran baru.
- Ekspor melonjak hingga US$23,44 miliar pada Juni 2025 --- naik 11,29% dibanding tahun sebelumnya.
Namun ekspor ini lebih banyak ditopang oleh komoditas mentah dan naiknya harga global, bukan oleh kekuatan manufaktur berdaya saing tinggi.
Dengan kata lain, kita sedang "menumpang naik" di atas gelombang pasar komoditas dunia, bukan karena transformasi ekonomi yang kokoh dari dalam.
Narasi Kesejahteraan yang Terasa Hampa
Dari sisi internal, ada pula klaim pemerintah soal peningkatan kesejahteraan dan pengurangan angka kemiskinan ekstrem. Namun data dari lembaga-lembaga dunia memberi tafsir yang berbeda.
Laporan UNDP dan World Bank menunjukkan masih lebarnya ketimpangan dan perlambatan upaya penurunan kemiskinan struktural.
- Indeks Gini stagnan
- Kelas menengah rentan kian melebar
- Masyarakat makin rapuh dalam menghadapi kejutan ekonomi
Apa Arti Pertumbuhan Jika Rakyat Masih Merintih?
Di kedai kopi kampung, narasi-narasi besar itu tidak bergema. Yang terdengar adalah obrolan tentang harga sembako, biaya sekolah anak, dan cicilan motor.
Apa arti pertumbuhan ekonomi jika tidak bisa mengurangi keresahan hidup sehari-hari?
Inilah tantangan narasi pembangunan kita hari ini: terlalu fokus pada angka makro dan lupa menengok dapur rumah tangga biasa. Ketika riset dan statistik hanya menjadi alat legitimasi politik, bukan alat bantu kebijakan yang solutif, maka kepercayaan publik pun pelan-pelan mengikis.
Ekonomi tidak boleh sekadar tumbuh, tapi juga harus berdetak --- mengikuti denyut kehidupan rakyat. Dan selama mesin-mesin industri masih mendesah lemah, selama warung kopi lebih ramai dari tempat kerja, kita patut bertanya ulang:
Siapa yang benar-benar menikmati pertumbuhan itu?
Penutup dari Kedai Kopi
Dari sebuah kursi plastik di kedai kopi kampung, saya mencatat realita yang tidak ditemukan di layar presentasi pemerintah.Â
Mungkin dari sinilah seharusnya pembangunan dimulai --- dari mendengar, dari merasakan, dan dari mengakui bahwa angka bukan segalanya.
Merza Gamal
Pensiunan Gaul Banyak Acara
Kompasianer | Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI