Refleksi Cinta di Ujung Akar Bumi
Ada yang selalu menyentuh hati saya saat memasuki kawasan hutan mangrove: suara gemerisik angin menyapu daun, bau lumpur asin yang khas, dan ketenangan air pasang yang pelan-pelan naik seperti napas bumi.
Bagi banyak orang, hutan mangrove mungkin hanya semak belukar di pesisir. Tapi bagi saya, itu adalah muara kehidupan---tempat bumi memeluk laut, tempat akar-akar menggenggam tanah, menahan abrasi, menyaring limbah, dan menjadi rumah bagi ribuan makhluk.Â
Saya sudah menjelajahi banyak hutan mangrove di tanah air.Â
Dan setiap langkah di sana, selalu menyisakan renungan: Sudahkah kita cukup mencintai bumi yang diam-diam terus terluka?
Natuna: Cinta Hijau dari Perbatasan Negeri
Di ujung utara Nusantara, saya menyusuri hamparan mangrove di Natuna---di Pering, Air Batang, Semintan, hingga Setengar. Ini bukan wisata biasa.Â
Ada perpustakaan alam di tengah hutan, ada pondok inspirasi, tempat anak-anak muda belajar menanam bakau sambil berdiskusi soal masa depan bumi.
Saya melihat sendiri bagaimana warga membibitkan mangrove jenis Rhizophora, menjaga kepiting bakau, dan menyambut pengunjung bukan dengan brosur mewah, tapi dengan kopi mangrove dan senyum tulus perjuangan.
Siak, Riau: Sungai Bersejarah dan Kebangkitan Kampung Wisata
Di Kampung Kayu Ara Permai, Kecamatan Sungai Apit, Riau, saya tidak hanya menjelajah jungle track yang sejuk menuju Selat Lalang, tetapi juga larut dalam kemah budaya---tempat anak-anak muda melebur dalam diskusi tentang konservasi dan identitas Melayu.
Ada tarian zapin, permainan gasing, dan kuliner khas seperti sirup kedabu, bolu berembang, dan kopi mangrove jenis Rhizophora apiculata.Â
Namun lebih dari itu, saya merasakan semangat warga yang tidak pasrah menghadapi perubahan zaman. Mereka merangkul ekowisata tanpa melupakan akar budaya.