Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Lagi, Starbucks Menutup 11 Gerai di Indonesia Selama Tahun 2025

12 Juli 2025   15:27 Diperbarui: 12 Juli 2025   15:27 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Tak hanya berdampak pada neraca keuangan, tetapi juga pada psikologis ribuan karyawan. Lebih dari 6.000 staf Starbucks di Indonesia mengalami tekanan sosial, mulai dari stigma di sekolah hingga intimidasi di tempat tinggal.

Lebih dari Sekadar Kopi

Starbucks selama ini dikenal bukan hanya karena kopinya, tetapi karena keberhasilannya membangun budaya "third place"---sebuah ruang antara rumah dan kantor yang nyaman, hangat, dan akrab. 

Namun dalam dua tahun terakhir, filosofi ini diguncang keras. Bukan oleh pesaing atau pergeseran selera pasar, tetapi oleh narasi sosial-politik yang lebih besar dari sekadar bisnis minuman.

Situasi diperburuk oleh pergeseran sentimen konsumen yang semakin sadar nilai. Banyak pelanggan, terutama generasi muda, kini menuntut lebih dari sekadar produk berkualitas; mereka ingin perusahaan yang berdiri di sisi yang mereka anggap benar secara moral. 

Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Dalam konteks ini, Starbucks gagal menyampaikan narasi yang mampu menenangkan hati dan merangkul empati konsumen lokal.

Mencari Jalan Pulang

Pertanyaannya kini bukan hanya apakah Starbucks bisa pulih, tetapi bagaimana caranya kembali ke hati pelanggan Indonesia. 

Apakah sekadar memperbarui menu cukup? Apakah penyesuaian strategi harga atau desain toko mampu membalikkan keadaan? Mungkin tidak.

Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih autentik dan bersahaja: mendengar suara publik, berkolaborasi dengan komunitas lokal, menegaskan kembali komitmen terhadap petani kopi Indonesia, serta memastikan bahwa nilai-nilai perusahaan berakar pada konteks lokal, bukan sekadar mengikuti agenda global.

Penutup: Dari Aroma Harapan ke Cita Rasa Perubahan

Cerita Starbucks di Indonesia belum selesai. Mungkin ini bukan akhir, melainkan jeda panjang untuk refleksi mendalam. 

Seperti secangkir kopi yang diseduh perlahan, perjalanan menuju pemulihan membutuhkan waktu, kehangatan, dan kesungguhan.Cerita Starbucks di Indonesia belum selesai. Mungkin ini bukan akhir, melainkan jeda panjang untuk refleksi mendalam. 

Seperti secangkir kopi yang diseduh perlahan, perjalanan menuju pemulihan membutuhkan waktu, kehangatan, dan kesungguhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun