Untungnya, tidak semua bisnis seperti itu.
Banyak merek kini bangkit dengan pendekatan yang lebih etis dan berorientasi solusi jangka panjang. Mereka tidak membangun narasi kekurangan atau ketakutan, melainkan memberdayakan.
Contoh nyata:
- Brand sustainable fashion yang mendidik tentang konsumsi bijak, bukan hanya menjual baju baru.
- Startup agritech yang memberdayakan petani lokal tanpa membumbui kisah mereka sebagai "penderitaan".
- Produk kecantikan yang merayakan keberagaman kulit dan bentuk tubuh tanpa narasi "harus berubah dulu untuk cantik".
Menurut studi Nielsen (2022), 73% konsumen global bersedia membayar lebih untuk produk dari perusahaan yang transparan dan beretika. Artinya: kejujuran dan nilai punya tempat di pasar.
Kita Bukan Sekadar Konsumen, Kita Penentu Arah
Setiap klik, pembelian, atau like adalah bentuk dukungan terhadap nilai. Kita bisa memilih apakah ingin memperkuat bisnis yang jujur dan memberdayakan, atau terus mendukung ekosistem yang menjual luka lalu menawarkan penawarnya.
Konsumen masa kini lebih dari sekadar pembeli. Mereka adalah aktivis diam yang bisa mengubah arah industri.
Dengan teknologi, literasi digital, dan kekuatan media sosial, kita bisa:
- Mengkritisi narasi yang manipulatif,
- Mendukung usaha lokal dan etis,
- Menyebarkan kesadaran, bukan ketakutan.
Akhir Kata: Bisnis Tak Harus Menjual Duka
Strategi fear-based marketing mungkin menghasilkan angka, tapi kepercayaan dibangun oleh ketulusan.
Bisnis bisa --- dan harus --- tumbuh dengan menyelesaikan masalah nyata, bukan menciptakannya.
Kita semua punya pilihan:
Menjadi bagian dari ekosistem yang menjual luka,
atau mendukung yang menyembuhkan dan membangun harapan.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Bagikan jika Anda percaya: bisnis bisa untung tanpa menjual luka dan duka.
Karena setiap keputusan hari ini, adalah warisan untuk dunia esok.