Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Demi Sahabatku di Alam Kubur

15 Juni 2025   21:57 Diperbarui: 15 Juni 2025   21:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Azan Subuh baru saja selesai berkumandang ketika dering ponsel mengusik tidurku. Nama di layar: Pak Ahmad, pengurus Masjid Jami' al-Ikhlas.

"Assalamu'alaikum, Pak Hadi... maaf mengganggu pagi-pagi. Kami baru saja menerima kabar dari keluarga Pak Rofiq... beliau wafat tadi subuh. Serangan jantung."

Dunia seakan berhenti.

Rofiq? Sahabatku sejak SD, tetangga semasa kecil, sekaligus rekan bisnis di pasar. Kami menjalani hidup dalam irama yang hampir sama: membuka toko bersama, bertukar ide dagang, tertawa, bahkan saling meminjami uang tanpa hitungan berlebih.

Pagi itu aku duduk lama di teras rumah, menggenggam ponsel, masih mencoba mencerna kenyataan. Wajah Rofiq terbayang---senyumnya, gelak tawanya, cerita-cerita kecil tentang cucunya. Aku menangis diam-diam. Satu bagian dari diriku terasa hilang.

Tiga hari setelah pemakaman, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat Rofiq duduk dalam kegelapan, bajunya lusuh, wajahnya muram.

"Hadi... tolong aku... aku belum bisa tenang..."

Aku terbangun dengan napas tersengal, tubuh basah oleh keringat. Hatiku gelisah tak karuan.

Paginya, aku menemui anak tertua almarhum, Yuni, yang baru saja menyelesaikan kuliah S1-nya. Kami duduk di ruang tamu rumah yang sederhana.

"Pak Hadi, kami tahu Ayah punya utang. Tapi kami tak tahu harus mulai dari mana. Warisan pun hampir tak ada. Rumah ini saja masih atas nama kakek."

Aku mengangguk pelan. Rofiq pernah berutang sebesar 70 juta rupiah kepada seorang agen beras di Demak. Aku tahu karena aku yang menemaninya saat transaksi itu terjadi. Ia butuh tambahan modal saat pasar sedang sepi, tapi belum sempat membayar karena usaha belum pulih. Semua hanya tercatat di buku kecilnya.

Anak-anaknya tampak jujur, tapi juga bingung. Mereka tak tahu harus bagaimana. Aku pulang sambil membawa kegundahan yang tak selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun