Ketika cinta akan rasa kampung halaman menjelma jadi kekuatan global
Di banyak negara, dari Nigeria hingga Belanda, dari Arab Saudi hingga Amerika Serikat, satu merek mi instan dari Indonesia begitu populer hingga dianggap bagian dari budaya lokal: Indomie.Â
Menariknya, popularitas Indomie di mancanegara bukanlah hasil dari strategi iklan raksasa seperti produk global lainnya. Ia menyebar secara organik, pelan tapi pasti, melalui kekuatan diaspora dan komunitas yang mencintainya.
Diaspora sebagai Duta Tak Resmi
Cerita sukses Indomie di luar negeri tidak bisa dilepaskan dari peran besar diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia. Mahasiswa, pekerja migran, diplomat, hingga ekspatriat membawa serta kebiasaan makan Indomie dalam koper mereka---sebagai pengobat rindu kampung halaman, pelipur di kala cuaca dingin, atau sekadar teman begadang.
Seorang mahasiswa Indonesia di Jerman pernah bercerita bagaimana satu kardus Indomie yang ia bawa dari Jakarta bisa "lenyap" dalam waktu seminggu karena dibagikan ke teman-teman internasionalnya.Â
Dari situlah, rasa penasaran muncul. "Mi instan apa ini? Kok beda?" Tanya mereka. Dan dari satu suapan rasa gurih manis khas Nusantara, terciptalah pelanggan baru.
Efek Bola Salju dari Cinta Sederhana
Awalnya, mungkin hanya teman sekamar yang ikut mencicipi. Tapi lalu teman sekamar mengenalkannya ke teman kampus. Dari sana menyebar ke komunitas pecinta kuliner Asia, hingga akhirnya menjadi konsumsi massal di toko-toko Asia dan supermarket besar di luar negeri.
Di Nigeria, Indomie bahkan sudah menjadi "milik nasional", diproduksi secara lokal oleh perusahaan patungan dan memiliki varian rasa lokal. Iklannya tayang di televisi nasional, dan anak-anak menyanyikan jingle Indomie seperti mereka menyanyikan lagu pop.
Bukan Sekadar Mi Instan
Lebih dari sekadar produk, Indomie adalah simbol nostalgia, persahabatan lintas budaya, dan identitas global yang berakar lokal. Diaspora tidak sekadar menyebarkannya sebagai makanan, tapi sebagai bagian dari cerita mereka: kisah masa kecil, cerita orang tua, atau budaya nongkrong ala warung burjo.