Renungan di Tengah Gelapnya Harapan di Negeri Kaya Raya
Beberapa dekade lalu, saya dan teman-teman suka menyanyikan lagu lawas Koes Plus berjudul Kolam Susu. Nadanya riang, liriknya menggambarkan sebuah negeri impian. "Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman."Â
Orang-orang tua saat itu sambil menanak nasi di dapur kayu ikut bersenandung, mereka percaya bahwa negeri ini sungguh tempat terbaik untuk hidup dan mati.
Tapi hari ini, anak-anak mereka justru menggaungkan tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Sebuah ironi. Negeri yang katanya surga kini terasa seperti labirin tanpa jalan keluar.
Hujan Emas di Negeri Orang, Hujan Batu di Negeri Sendiri
Pepatah itu dulu membuat kita bangga tinggal di tanah air sendiri. Tapi kini, banyak yang rela menerima 'hujan emas' di negeri orang, meski hanya menjadi buruh migran, perawat, atau mahasiswa yang tak pasti akan pulang.Â
Karena di negeri sendiri, yang turun bukan sekadar 'hujan batu', melainkan longsoran ketidakadilan, tsunami harga, dan badai korupsi.
Di sebuah warung kopi pagi itu, seorang bapak separuh baya berkata lirih, "Bukan kami tak cinta negeri ini. Tapi kami lelah mencintai yang tak pernah membalas."
Negeri Kaya, Rakyatnya Miskin
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya. Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan alam berlimpah: tambang emas, nikel, batu bara, hutan tropis, ladang sawit, laut yang tak habis-habis.Â
Tapi mengapa rakyatnya masih harus antre minyak goreng? Mengapa harga beras melambung seperti impian kami yang tak kesampaian?
Kekayaan itu tampaknya hanya mengalir ke saku segelintir orang. Sementara sisanya, berjibaku hidup dari gaji UMR yang tak cukup untuk menyicil mimpi.