Pagi masih sepi. Suasana rumah masih dipenuhi sisa-sisa semangat Lebaran. Ketupat di kulkas sudah tinggal beberapa potong, rendang mulai mengering di teflon, dan suara anak-anak bermain petasan terdengar di kejauhan.Â
Saya sedang menyeruput kopi saat membuka Google untuk mengecek kabar dunia. Tak disangka, satu angka di layar membuat saya tercekat: IHSG tercatat ambrol 11,46% ke level 5.730,34.
Sejenak saya diam. Ini bukan angka kecil. Ini bukan sekadar fluktuasi biasa. Ini seperti melihat kapal besar yang tiba-tiba oleng tanpa angin kencang. Lebih mencengangkan lagi, indeks saham-saham besar seperti BBCA, BBRI, BBNI, bahkan TLKM dikabarkan turun belasan hingga 25 persen.Â
Tapi..., bukankah Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang libur?
Rasa ingin tahu mendorong saya untuk mencari tahu lebih dalam. Ternyata benar, hari ini, Senin 7 April 2025, BEI memang belum aktif karena masih dalam masa libur Lebaran. Tak ada perdagangan. Tak ada transaksi yang sah. Lalu dari mana angka mengerikan itu berasal?
Saya menarik napas panjang. Tak lama kemudian, pihak BEI mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka menjelaskan bahwa memang tidak ada aktivitas pasar hari itu, dan angka-angka yang muncul di Google bukan berasal dari transaksi resmi BEI.Â
Ada kemungkinan itu berasal dari data luar negeri seperti ETF yang melacak pergerakan IHSG di bursa global, atau mungkin kesalahan sistem agregasi data di Google Finance. Bisa jadi juga karena simulasi atau pengujian sistem internal BEI yang secara teknis kebetulan "terbaca".
Tapi seperti kata pepatah: "Lidah lebih tajam dari pedang." Dalam konteks digital saat ini, data yang salah lebih mematikan daripada berita buruk yang benar.Â
Informasi yang muncul di Google itu sempat menciptakan kekhawatiran, bahkan kepanikan kecil di kalangan investor ritel. Tak sedikit yang bertanya-tanya: apakah besok pasar akan benar-benar jatuh sedalam itu?
Kejadian ini terjadi bukan dalam ruang hampa. Hari-hari terakhir ini dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Tepat pada 2 April 2025, saat mayoritas masyarakat Indonesia sibuk menyambut Lebaran, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat gebrakan. Ia mengumumkan tarif ekspor baru sebesar 32% kepada 57 negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan ini tak main-main. Sektor-sektor ekspor andalan kita---dari kelapa sawit, garmen, hingga alas kaki---akan terkena imbas langsung. Artinya, potensi kinerja ekspor kita bisa terganggu. Surplus perdagangan bisa menyusut. Dan pasar saham bisa berguncang hebat.
Tapi karena publik Indonesia sedang dalam suasana lebaran, berita besar ini seperti tenggelam dalam gegap gempita silaturahmi. Media memang meliput, tapi reaksi pasar tertunda. Maka tak heran, ketika libur panjang usai, efek kejutnya bisa sangat terasa.
Saya jadi teringat sebuah pelajaran penting dari dunia investasi: Pasar bukan hanya soal angka, tapi juga soal psikologi. Dan di era digital ini, psikologi pasar bisa digiring oleh algoritma, bahkan oleh data yang belum tentu valid.
Kejadian ini menjadi pengingat, bahwa dalam dunia yang serba cepat dan penuh data, kita---sebagai masyarakat, investor, dan bahkan jurnalis---perlu lebih kritis.Â