Tutupnya Gerai Satu per Satu dan Kenangan Kisah Sukses Matahari

Bagi masyarakat Indonesia, nama "Matahari" bukan sekadar pusat perbelanjaan. Ia adalah bagian dari sejarah, kenangan, dan simbol kejayaan industri ritel nasional. 

Namun, seperti mentari yang perlahan tenggelam di ufuk barat, sinar Matahari kini tampak meredup.

Kisah Matahari bermula dari sebuah toko pakaian kecil bernama "Micky Mouse" di kawasan Pasar Baru, Jakarta, yang didirikan oleh pengusaha Hari Darmawan pada tahun 1960. Toko ini menjual pakaian impor dan juga produk lokal dengan merek MM Fashion, buatan sang istri. 

Dalam lima tahun pertama, Micky Mouse mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik. Namun, di sisi lain, Hari Darmawan merasa iri melihat kesuksesan tetangganya, De Zion, toko milik keturunan Belanda yang selalu ramai dikunjungi kalangan berada.

Baca juga: Di Tengah Meredupnya Matahari dan Bertahannya Ramayana

Keinginan untuk menyaingi bahkan memiliki De Zion terus mengendap hingga pada 1968, saat Hari mendengar kabar bahwa pemilik De Zion hendak menjual tokonya. Dengan semangat tinggi dan bermodalkan pinjaman sebesar US$200 juta dari Citibank, Hari Darmawan akhirnya mengakuisisi dua toko De Zion di Jakarta dan Bogor. 

Nama "Matahari" pun dipilih sebagai identitas baru toko tersebut, mengacu pada arti "De Zion" dalam bahasa Belanda yang berarti matahari.

Untuk memperkuat bisnisnya, Hari meniru konsep ritel Jepang, Sogo Department Store, yang menawarkan pilihan produk selengkap mungkin dengan harga terjangkau. Strategi ini berhasil. Matahari berkembang pesat pada dekade 1970-1980, menjual tidak hanya pakaian, tetapi juga perhiasan, kosmetik, elektronik, mainan, hingga alat tulis. Pada 1989, kesuksesan ini mengantarkan Matahari melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten LPPF.

Namun, Hari Darmawan tidak puas hanya menjadi besar. Ia bermimpi membangun 1.000 gerai Matahari di seluruh penjuru negeri. Ambisi ini mengantarkannya bertemu James Riady, putra konglomerat Mochtar Riady dari Lippo Group. James menawarkan pinjaman senilai Rp1,6 triliun dengan bunga rendah. Hari menerimanya, namun tak menyangka langkah ini akan membuka jalan bagi pergeseran kepemilikan.

Tak lama setelah pinjaman dikucurkan, Lippo Group membawa WalMart---ritel raksasa asal Amerika Serikat---ke Indonesia. Yang mencengangkan, WalMart membuka gerai persis di depan Matahari. Persaingan ini mirip fenomena "Indomaret vs Alfamart" yang berdampingan di mana-mana. Hari tak gentar, dan faktanya, Matahari tetap unggul hingga WalMart akhirnya angkat kaki dari Indonesia.

Baca juga: Membangun Kesuksesan dalam Industri Media Ritel

Namun, badai besar datang pada 1996. James Riady menawarkan pembelian Matahari, dan Hari menerima tawaran tersebut. Maka, Matahari resmi menjadi bagian dari Lippo Group, dengan valuasi mencapai Rp2 triliun. Penjualan ini mengejutkan publik, mengingat Matahari tengah berada di puncak kejayaan.

Baca juga: Anomali Konsumsi Ramadan 2025; Sinyal Kelesuan Daya Beli atau Sekadar Penundaan Belanja?

Meski berada di bawah Lippo Group, tantangan baru mulai menghantui. Salah satunya adalah munculnya gaya hidup digital dan perubahan pola belanja masyarakat ke arah e-commerce. 

Matahari pun mulai tertinggal dalam transformasi digital. Tak hanya itu, pemain ritel global lainnya seperti Yaohan dari Jepang pun pernah merasakan tekanan dari kehadiran Matahari yang dominan di Indonesia, hingga akhirnya Yaohan menutup gerainya di beberapa kota besar.

Tahun demi tahun, sinar Matahari semakin suram. Pandemi Covid-19 memperparah situasi. Sejumlah gerai ditutup permanen, dan kondisi keuangan perusahaan pun goyah. Berdasarkan laporan keuangan tahunan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang dirilis pada kuartal IV 2024, laba bersih perseroan turun menjadi Rp620 miliar dari Rp1,38 triliun pada 2022. 

Penurunan ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk pelemahan daya beli masyarakat dan transformasi digital yang belum optimal. Total jumlah gerai juga berkurang dari 156 pada awal 2023 menjadi 142 gerai pada akhir 2024.

Salah satu yang paling menyentuh adalah penutupan gerai Matahari di Thamrin Plaza Medan pada awal April 2025, pas di hari lebaran.  Bagi warga Medan, ini bukan sekadar penutupan toko. Ini adalah pamitnya sebuah ikon yang sudah hadir sejak 1986. 

Warga mengenang Matahari sebagai tempat favorit belanja pakaian, khususnya saat menjelang hari raya. 

Banyak kisah manis yang tercipta di dalamnya: memilih baju Lebaran bersama keluarga, mencicipi makanan ringan khas pusat perbelanjaan, hingga hanya sekadar berjalan-jalan di lorongnya yang penuh etalase.

Kini, saat tirai ditutup dan lampu dipadamkan di gerai Thamrin Plaza, warga pun larut dalam nostalgia. Matahari telah menjadi bagian dari sejarah kota, dan kepergiannya menyisakan ruang kosong dalam ingatan kolektif masyarakat.

Matahari mungkin telah meredup, tetapi kenangannya tetap abadi. Kisahnya menjadi pelajaran berharga bahwa kejayaan tak selamanya bertahan jika tak mampu beradaptasi. 

Dan bagi generasi yang pernah tumbuh bersamanya, Matahari akan selalu dikenang sebagai cahaya yang pernah bersinar terang di langit ritel Indonesia.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)