Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Budaya Belanja Black Friday Menjelang Natal yang Mulai Memudar di Era Digital

29 November 2024   21:18 Diperbarui: 30 November 2024   05:53 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah iklan penjualan Black Friday di Pentagon City di Arlington, Virginia, AS, 27 November 2024. Sumber gambar: REUTERS/Benoit Tessier/Foto Arsip

Black Friday telah lama menjadi simbol dimulainya musim belanja Natal di Amerika Serikat. Hari ini dikenal sebagai momen bagi pengecer untuk menawarkan diskon besar-besaran, menarik jutaan pembeli berburu penawaran.

Namun demikian, dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen sejak pandemi Covid-19, Black Friday kini mulai memudar sebagai fenomena belanja ritel yang utama. Di sisi lain, fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, meski dengan latar belakang yang berbeda.

Sejarah dan Perkembangan Black Friday

Istilah Black Friday pertama kali muncul pada 1960-an di Philadelphia, Amerika Serikat. Saat itu, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kemacetan lalu lintas yang terjadi sehari setelah Thanksgiving, karena banyaknya orang yang memadati jalanan untuk berbelanja.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini diadopsi oleh industri ritel, menggambarkan waktu di mana para pengecer mulai mendapatkan keuntungan ("into the black") setelah mengalami kerugian ("in the red") selama sebagian besar tahun.

Pada era modern, Black Friday telah menjadi ajang diskon besar-besaran yang ditunggu-tunggu. Pengecer menawarkan produk dengan harga yang sangat rendah, bahkan sering disebut sebagai "doorbuster deals" untuk menarik pembeli masuk ke toko fisik mereka. Beberapa orang bahkan rela antre sejak dini hari untuk mendapatkan penawaran terbaik.

Tren Black Friday yang Mulai Memudar

Meski tetap menjadi salah satu momen belanja terbesar di Amerika, Black Friday mulai kehilangan daya tariknya. Salah satu penyebab utamanya adalah pergeseran ke belanja daring.

Sejak pandemi COVID-19, semakin banyak orang Amerika yang memilih kenyamanan belanja online dibandingkan mengantre di toko fisik. Diskon "doorbuster" yang dulunya menjadi andalan kini digantikan dengan penawaran daring melalui situs e-commerce.

Pengecer juga mulai mengubah strategi mereka. Penawaran diskon yang dulunya hanya berlangsung sehari kini diperpanjang menjadi "Black Friday Week" atau bahkan sepanjang bulan November. Fenomena seperti Cyber Monday, yang memanfaatkan belanja online, juga semakin menggeser posisi Black Friday sebagai puncak belanja ritel.

Belanja Musiman di Indonesia

Meskipun Black Friday bukan tradisi di Indonesia, masyarakat kita memiliki pola belanja musiman yang mirip. Momentum belanja terbesar biasanya terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun