Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Saat Pasangan Hidup Divonis Kanker Stadium Lanjut

29 Januari 2023   17:40 Diperbarui: 20 Januari 2024   18:14 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat dokter dan tim kesehatan menyampaikan vonis kanker, rasanya seperti mendengar petir di siang bolong. Dan jika yang divonis tersebut adalah pasangan hidup kita, rasanya seperti menghadapi palu godam karena kehidupan pasangan kita akan segera berakhir.

Ketika vonis disampaikan, kondisinya adalah kanker stadium lanjut, dan secara ramalan medis hampir-hampir tidak dapat disembuhkan. Dan, yang menyesakkan adalah seseorang baru diketahui mengidap kanker kebanyakan sudah pada stadium lanjut (stadium 3-4). Sehingga begitu mendengar vonis dokter bahwa pasangan kita menderita kanker, maka seolah-olah semuanya akan berakhir.

Hampir sepuluh tahun yang lalu, saya mengalaminya. Pasangan hidup saya, yang sebelumnya sehat-sehat saja dan tidak ada tanda-tanda, tiba-tiba divonis kanker stadium III D menjelang stadium IV.

Image: Saat pasangan hidup divonis kanker stadium lanjut (Grafis by Merza Gamal) 
Image: Saat pasangan hidup divonis kanker stadium lanjut (Grafis by Merza Gamal) 

Awalnya, saat istri saya pijat ketika weekend, tiba-tiba terasa ada benjolan yang keluar dari daerah payudaranya yang selama ini tidak pernah dirasakan ada yang bengkak di sana.

Setelah berkonsultasi dengan kakak istri yang kebetulan dokter, kami segera diminta untuk memastikan benjolan tersebut ke RS Kanker Dharmais.

Singkat cerita, setelah melewati berbagai pemeriksaan selama lebih dari 2 pekan, akhirnya disimpulkan bahwa benjolan yang ada di dalam payudara dan selama ini tidak teraba adalah sel kanker yang telah berkecambah dalam stadium III D menuju stadium IV. Dan, secara medis, harapan hidup istri saya hanya tinggal 3-6 bulan jika tidak dilakukan tindakan segera.

Tindakan yang harus dilakukan untuk memperpanjang usia istri saya adalah dengan operasi pengangkatan payudara. Dan, itu harus dilakukan segera karena berpacu dengan waktu.

Saya sebagai suami, mencoba tegar di hadapan tim dokter walau hati ini galau tiada terkira. Saya harus bisa menyampaikan kondisi ini kepada istri saya, tanpa dia menjadi kehilangan semangat hidup, dan mempersiapkan mental anak-anak yang saat itu masih relatif kecil-kecil.

Anak saya yang sulung saat itu baru naik kelas 12 (SMA kelas 3), adiknya masih kelas 1 SMP, dan yang bungsu baru kelas 4 SD.

Sementara tugas saya di sebuah perbankan nasional mengharuskan saya setiap minggu melakukan perjalanan dinas ke luar Jakarta.

Saya mendengarkan vonis dokter di ruang yang terpisah dengan ruang pemeriksaan terakhir istri saya sebelum vonis itu keluar.

Saat saya menjemput istri saya ke ruangan periksa untuk pulang ke rumah, istri saya langsung memberondong dengan berbagai pertanyaan karena dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dokter ketika pemeriksaan terhadap dirinya.

Seperti hari-hari pemeriksaan sebelumnya, saya dan istri bertemu di Rumah Sakit. Istri saya dari rumah dan saya dari kantor yang tidak begitu jauh dari rumah sakit, dan setelah dari rumah sakit biasanya, kami kembali berpisah, istri pulang ke rumah dan saya kembali ke kantor. Namun, hari itu saya tidak kembali ke kantor.

Saya mencoba perlahan untuk memberi keterangan kepada istri, dan berusaha bagaimana istri saya jangan sampai tahu bahwa dia sudah menjelang stadium IV dan perkiraan usianya hanya 3-6 bulan saja jika tidak segera operasi. Kebetulan hari itu, adik istri saya yang saat itu bertugas di Merauke datang ke Jakarta untuk menemani pemeriksaan terakhir kakaknya.

Sejak pemeriksaan yang hasilnya mengarah ke kanker, seluruh kakak dan adik istri mulai khawatir dan bergantian ikut menemani dalam serangkaian pemeriksaan selama lebih 2 pekan tersebut.

Sebelum saya bertemu istri saya setelah dari ruang tim kesehatan yang menangani kasus istri saya, saya pun berbicara dulu kepada adik istri saya.

Saya sampaikan bahwa kakaknya positif kanker dan harus segera dioperasi. Namun, saya tidak menyampaikan bahwa kondisinya sudah menjelang stadium IV dan perkiraan usianya hanya tinggal 3 bulan. Istri saya sama sekali tidak terlihat sakit secara fisik dari luar. Jadi, agak sulit bagi kami semua untuk menerima kenyataan ini.

Adik ipar saya langsung menangis sesegukan dan dia pun menelepon kakak-kakaknya memberitahukan keadaaan istri saya kepada mereka. Saya pun beranjak ke kamar periksa untuk menjemput istri pulang ke rumah.

Seperti saya sampaikan di atas, istri saya langsung memberondong saya dengan berbagai pertanyaan. Saya coba jelaskan dengan hati-hati bahwa dia harus segera dioperasi agar benjolan itu tidak berkembang. Saya menyampaikan bahwa itu hanya tumor yang kemungkinan bisa berkembang menjadi kanker sehingga perlu tindak segera agar tidak berkembang.

Namun demikian, istri saya juga merasakan bahwa saya menyembunyikan sesuatu kepada dia. Dan, istri saya berkata bahwa dia siap melakukan apa pun agar tetap sehat dan bisa mengasuh anak-anak hingga dewasa. Saya mencoba untuk terus terlihat tegar di depan istri saya dan juga di depan keluarga dan anak-anak saya.

Kemudian, saya dan istri saya pulang satu mobil ke rumah, dan saya menyampaikan ke tim saya bahwa saya tidak kembali ke kantor dari RSK Dharmais.

Di mobil sms berseliweran masuk ke HP saya. Dan saya hanya bisa menyampaikan pesan yang sudah saya copy paste bahwa saya masih bersama istri yang tidak mungkin akan mendengar percakapan kita tentang kondisi dia yang sebenarnya.

Sesampai di rumah, istri saya masuk kamar, dan dia pun menangis dan meminta saya jangan masuk kamar dulu. Namun itu tidak lama, istri saya segera shalat. Dan setelah itu dia dengan tegar berkata bahwa dia siap melakukan apa pun agar bisa terus mendampingi anak-anak hingga dewasa. Perasaan sangat kecut walau saya berusaha tegar.

Image: Istri saya siap melakukan apa pun agar bisa terus mendampingi anak-anak hingga dewasa. (Photo by Merza Gamal)
Image: Istri saya siap melakukan apa pun agar bisa terus mendampingi anak-anak hingga dewasa. (Photo by Merza Gamal)

Untuk menjawab sms kakak-kakak istri saya yang ingin berbicara dengan saya perihal kondisi istri saya, saya pun berbohong kepada istri saya bahwa sore ini saya ada meeting dan saya akan ke cabang yang dekat dengan rumah saya untuk menggunakan peralatan video conference yang ada di cabang tersebut. Padahal saya hanya keluar dari cluster perumahaan dan parkir di kawasan niaga tidak jauh dari cluster perumahan kami.

Saya mencoba menjelaskan apa yang terjadi dengan istri saya, tetapi tidak terbuka semuanya. Saya hanya menyampaikan bahwa istri saya positif kanker dan harus segera dioperasi.

Respons yang berbeda-beda saya dapatkan dari kakak-kakaknya. Ada yang setuju dengan pendapat dokter untuk segera dioperasi. Ada yang mengusulkan untuk dibawa ke Singapura. Ada yang mengusulkan dibawa ke China. Dan, ada pula yang mengusulkan ke alternatif dulu.

Mendapatkan respons yang berbagai macam, sempat membuat saya bingung. Semuanya memberikan alasan dan argumentasi masing-masing.

Namun akhirnya saya harus mengambil keputusan di antara kebingungan tersebut. Saya pun memantapkan diri untuk mengikuti advise tim Kesehatan yang menangani kasus istri saya. Artinya sebelum satu bulan istri saya harus udah bisa diopersai di RSK Dharmais. Dan, sebelumnya harus menjalankan serangkaian persiapan untuk siap dioperasi.

Setelah kembali ke rumah, anak-anak sudah kembali dari sekolahnya. Dan adik ipar saya yang menginap di rumah kami sepertinya sudah diintrogasi oleh anak sulung saya.

Mata adik ipar saya terlihat merah menahan kesedihan. Belum saya masuk rumah, si sulung sudah mencegat dan berkata, "Ayah, benarkah Bunda harus dioperasi segera?"

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun