Mohon tunggu...
Merlin Geme Meda
Merlin Geme Meda Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan sendiri

I am not a great writer. Hanya saya berharap semoga tulisan saya baik juga untuk dinikmati pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal dan Masa Depan

9 September 2020   04:44 Diperbarui: 9 September 2020   13:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari bangku taman kampus, aku memandang teman-teman wisudawan dan wisudawati yang dengan bahagianya menikmati hari ini, hari yang ditunggu dan yang merupakan puncak perjuangan pendidikan selama empat tahun untuk memperoleh gelar S1. 

Mereka tidak sendirian seperti saya. Dengan kedua orang tua di samping, mereka tak bosan-bosannya mengambil foto bersama untuk diabadikan. Aku lihat ekspresi bangga dan bahagia juga tampak pada sosok-sosok hebat yang menjadikan ajaknya berhasil sampai pada hari ini. Ekspresi itu mungkin pasti juga akan ada pada kedua sosok yang menjadi alasan untuk aku hidup dan berjuang sampai hari ini. 

Melihat situasi itu, aku hanya terdiam sendiri dan berteman kesepian pada suasana keramaian di sekitarku. Dalam keheningan jiwaku begitu menyesali atas apa yang terjadi dalam hidupku. Aku harus berdiri sendiri di hari wisudaku tanpa bapa dan mama. 

Aku kenang kembali saat pertama aku berkeinginan untuk sampai pada titik ini yaitu menjadi seorang sarjana teknik.

Waktu itu setelah selesai makan malam, aku memberanikan menyampaikan cita-cita besar ku ini kepada mereka yang aku bahkan sendiri tahu mereka tidak akan mampu mewujudkannya waktu itu.

"Bapa, mama. Maafkan Bimo ya." Aku mulai bicara.

"Maaf untuk apa Bim?" Dengan serentak bapa dan mama bertanya.

"Ada sesuatu yang ingin Bimo sampaikan." Kataku.

"Ada apa Bim, sampaikan saja. Pake minta maaf segala, memangnya kenapa?"

Kata mama sembil membereskan perabot makan.

"Setelah lulus SMA, Bimo mau Kuliah. Boleh nggak pa ma."

Dengan tergesa-gesa, aku kemudian menyampaikan keinginanku itu kepada mereka.

"Boleh dong Bimo, Bapa dan mama akan mendukung apa saja yang kamu inginkan. Kenapa kamu harus minta maaf?" Kata mama.

"Bimo cuma tidak tega saja beri tahu bapa sama mama karena biaya kuliah tidak akan murah. Melihat kondisi bapa dan mama, Bimo kasihan saja." Ungkapku jujur.

Dari sisi meja makan yang lain, bapa menanggapi apa yang aku bicarakan.

"Tidak apa-apa Bimo. Justru bapa sama mama suka kamu punya mimpi seperti itu. Tidak perlu merasa bersalah, itu sudah menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tua untuk menghidupkan kamu, termasuk salah satunya membiayai sekolahnu."

"Benar yang dikatakan bapamu Bimo. Bapa sama mama juga ingin hidup kamu di masa depan lebih baik dari hidupnya kita sekarang. Selagi bapa dan mama masih bisa kerja, akan kami usahakan bagaimanapun caranya selagi cara itu baik." Sambung mama setelah membereskan perkakas makan, yang kemudian duduk kembali di sampingku.

Ternyata tanggapan mereka diluar ekspektasiku. Mengetahui kondisi ekonomi bapa dan mama yang tidak mungkin membiayai kuliahku, aku pikir mereka akan langsung membantah cita-citaku itu.

Ternyata Itu semua sangat berbanding terbalik. Mereka orang tua yang hebat. Walaupun dengan kondisi ekonomi yang bisa dikatakan rendah, namun mereka menanggapi keinginan besarku itu dengan sangat baik, seakan-akan semuanya begitu mudah. Sikap optimis mereka malam itu, secara tidak langsung sangat meningkatkan semangatku untuk meraih apa yang aku inginkan. Aku begitu bangga dititipkan Tuhan pada bapa dan mamaku. Tidak ada lagi kata lain yang saya ucapkan malam itu, selain terima kasih dan ungkapan bahwa aku begitu mencintai mereka.

"Terima kasih. Bimo begitu mencintai bapa dan mama. Bimo janji suatu saat Bimo akan sampai pada cita-cita ini. Bimo bangga punya bapa dan mama."

"Iya, bimo. Bapa mama juga bersyukur dan bangga punya kamu. Sudah baik dan berbakti, kamu juga sangat pintar."Kata mama sambil menarik pundakku untuk dipeluknya.

"Mama tahu tidak, apa yang sekarang Bimo pikirkan?" Tanyaku saat mama memelukku.

"Tidak tahu." Kata mama sambil melepaskan pelukan.

"Aku membayangkan waktu aku wisuda didampingi bapa dan mama, terus gitu setelah lulus aku langsung kerja dan jadi orang sukses deh." Jawabku sembari melepaskan senyum bahagia.

"Ahhhhh, ada-ada saja kamu. Sana belajar, biar semua yang kamu pikirkan itu jadi kenyataan." Sahut bapa sambil menikmati kopi yang dibuatkan mama di sela-sela obrolan kami malam itu.

"Eeehhhhh, benar juga kata bapa kalau aku harus belajar." Jawabku.

Sejak malam itu, aku semakin semangat dalam dalam belajar. Jadi tak heran nilai ujianku begitu baik dan aku memperoleh peringkat satu selama 3 tahun di SMA. Hingga tidak aku sangkakan, saat tengah mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir Nasional, aku dikabarkan oleh kepala sekolah, bahwa aku akan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah. 

Bahagia aku dan bapa mama tidak karuan mendengar kabar itu. Cita-citaku sedikit mulai terjawab waktu itu.

Semuanya berjalan mulus, aku kemudian lulus SMA dan melanjutkan kuliahku, sedangkan bapa mama tetap berjualan bakso untuk biaya hidup setiap hari. 

Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Aku pikir, semua mimpiku akan terus berjalan mulus. Ternyata tidak dengan mimpi saat aku wisuda di dampingi mereka yang aku cintai.

Hari ini, aku sendiri bahkan  tidak tahu untuk mengekspresikan hari ini bagaimana?

Bahagia, sedih dan penyesalan berjalan bersama. 

Wisuda tanpa mereka disampingku, begitu membuat aku bersedih hari ini. Belum lagi aku yang belum sempat dan tidak akan pernah membahagiakan mereka akan selalu menjadi penyesalanku hari ini dan semasa hidup.

Bapa dan mama harus pergi menghadap Tuhan lebih cepat sebelum usia tua menghampiri mereka. Mereka meninggal karena kecelakaan saat menyeberangi jalan ketika hendak berjualan bakso. 

Kecelakaan itu, benar-benar membuat hatiku terpukul waktu itu. Aku seperti sudah kehilangan arah hidup. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk terus melanjutkan kuliah. 

Namun semangatku kembali hadir saat bapa menyampaikan pesan-pesan terakhirnya waktu itu.

"Bimo, mamamu sudah pergi pada hari kecelakaan kami waktu itu, sepertinya sebentar lagi bapa akan menyusulnya. Sebelumnya bapa sangat bersyukur,diberikan kesempatan untuk bicara dengan kamu di detik-detik terakhir bapa." Kondisi fisiknya yang semakin melemah, bapa berusaha berbicara.

"Kamu jangan terus-terusan bersedih."

"Kenapa harus begini pak? Bapa dan mama harus tinggalin Bimo saat Bimo masih belum beri apa-apa untuk bapa mama.?" 

"Ahhhhhhhh." Teriakku marah dan sambil menangis.

Entah kemarahan itu aku tujukan kepada siapa aku tidak tahu, sebab keadaan waktu itu benar-benar diluar kendaliku.

"Bimo, Bapa juga tidak tahu jawaban tentang pertanyaan itu. Bapa hanya percaya, hidup semua manusia sudah direncanakan dengan baik oleh Tuhan, juga termasuk bagaimana cara manusia itu kembali padaNya. Inilah cara terbaik Tuhan untuk bapa dan mamamu." Bapa melanjutkan dengan suara yang mulai menghilang.

"Tapi kenapa harus waktu sekarang, Bimo belum balas semua yang bapa dan mama beri." Jawabku sambil berteriak menangis.

"Termasuk waktu juga Tuhan telah menentukan Bimo. Kamu harus kuat terima kenyataan ini." Lanjut bapa sambil berusaha menggenggam erat tanganku.

Mendengarnya berkata demikian, aku tak mampu lagi menjawab. Bisaku waktu itu hanya menangis. Aku tidak pernah membayangkan bahwa bapa akan menyusul mama sebulan setelah mama meninggal tepat waktu kecelakaan itu terjadi.

"Bimo, bapa pamit nyusul mama.  Kamu hiduplah dengan baik. Bapa dan mama tidak akan pernah meninggalkan kamu sampai kapanpun. Jangan lagi bersedih Bimo, karena itu akan membuat bapa dan mama tidak tenang. Hidupmu harus terus kamu lanjukan. Wujudkan mimpimu, bapa dan mama akan sangat bangga dengan itu. "

Aku hanya mendengar pesan itu sambil manangis. Di sela tangisanku, aku mendengar suara yang sebelumnya sangat tegas saat berbicara, jadi lemah dan lemah yang kemudian tidakku dengar suaranya lagi waktu itu sampai saat ini. Bapa menghembuskan nafas terakhirnya waktu itu tepat pada pukul 15.00.

Saat lamunanku sampai disitu, kembali ku tersenyum memasuki auditorium kampus untuk mengikuti acara wisuda. 

Aku lulus dengan predikat Cumlaude dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah Pasca sarjana. Aku kembali sadar bahwa, tidak ada alasan aku bersedih lagi, sebab bapa dan mama juga sedang dengan senang dan bangganya mendampingiku saat ini dan selamanya tidak akan meninggalkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun