Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duka Ibu Pertiwi

14 Mei 2018   13:56 Diperbarui: 14 Mei 2018   14:09 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertiwi hanya bisa terduduk di lorong rumah sakit. Dia bersidekap. Air matanya mengalir, bibirnya terkatup rapat. Pertiwi menangis tanpa suara.

"Kami sudah berupaya semaksimal mungkin,Bu, mohon maaf, kami tidak dapat menyelamatkan nyawa anak Ibu," tiga dokter berseragam hijau muda berbicara dengan sangat pelan. Salah satu dari mereka menggenggam tangannya dengan penuh simpatik. Jiwa Pertiwi runtuh.

Tak akan ada lagi anaknya yang bernama Krismanto. Rasanya jantungnya terhujam beribu sembilu. Sakit dan perih sekaligus. Kehilangan anak ternyata sangat menyakitkan. Pikirannya berteriak-teriak memanggil-manggil Krismanto, seperti saat dia berteriak ketika melihat anaknya itu bermain di sungai sepulang sekolah. Berharap Krismanto berpaling dan langsung berlari mendekatinya dan menurut saat diajak pulang.

Hatinya bermohon, andai bisa Pertiwi menggantikan posisi Krismanto. Biarlah Krismanto tetap hidup, biarlah Pertiwi saja yang tiada. Ah, Tuhan, Kau mengambilnya dengan cara yang sangat menyakitkan.

Sebuah tangan memeluk Pertiwi dari belakang.

"Ibu, aku akan mengurus pemakaman Krismanto. Istirahatlah, Bu, kau sudah teramat sangat lelah dan terpukul," Juang, anak tertuanya berbisik lembut. Ya, anak sulungnya ini selalu bisa diandalkan. Sudah sejak lama dia menjadi tulang punggung keluarga kecil ini.

Pelukan Juang mengembalikan Pertiwi ke dunia nyata. Memaksa Pertiwi untuk menyingkirkan kehilangannya atas kematian Krismanto.

"Jam berapa ini?" tanyanya kepada Juang.

"Hampir tengah malam, Bu," jawab Juang.

"Kau uruskan tentang Krismanto. Aku harus ke kantor polisi!" Pertiwi bergegas berdiri, membereskan kainnya yang semrawut sambil sekedarnya menyisir rambutnya dengan kelima jarinya. Juang hanya bisa menatap langkah Pertiwi, Ibunya, dengan mata berkaca-kaca.

******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun