Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tak berapa lama, operasi PLN diadakan malam hari dan kabel itu pun disita lagi. Anak-anak Badjuri kembali gagal belajar dengan nyaman.
"Saya menangis karena merasa tidak terang belajar malam hari dengan menggunakan petromaks lagi. Apalagi saat itu saya sudah berkacamata. Duduk di bangku SMP," kata Fatimah. Kini, ia sudah jadi PNS. Pegawai Negeri Sipil. Aparatur Sipil Negara alias ASN, adalah istilah kerennya.

Meskipun tidak ada uang cash, Badjuri sontak mengiyakan. Pikirannya cuma satu: ingin anaknya bisa bersekolah tinggi.
"Bapak pun berunding dengan saudara sepupu atas tawaran pembelian tiang listrik itu. Bukan harga yang murah bagi petani kecil seperti mereka, karena satu tiang dihargai Rp 175 ribu dan perlu 8 tiang agar listrik bisa masuk desa kami," urai Fatimah.

Badjuri pun menjual sepeda motor Yamaha tua miliknya. Tapi itu belum cukup.
"Saya ingat, harga motor itu Rp 450 ribu, sementara Pak Mudakir -saudara sepupu Bapak- menggadaikan sawahnya selama beberapa tahun untuk mendapatkan uang Rp 450 ribu juga guna mencukupi pembelian tiang tersebut," tuturnya.
Ada sumbangan lain dari keponakan Pak Badjuri, kerabat, serta donasi dari tujuh orang tetangga yang profesinya buruh tani masing-masing senilai Rp 5 ribu. Sekali lagi, sumbangan Rp 5.000,- demi mimpi Dusun Jambean punya listrik sendiri!.
"Alhamdulillah tiang terpasang dan desaku menjadi terang di malam hari," seru Fatimah.
