Marti mengangkat alis. "Kamu ikut-ikutan? Kamu pikir kamu siapa?"
"Itu anak kandung Ibu. Saya hanya sebagai menantu dan suami anak ibu. Dan saya muak lihat istri saya dipermalukan terus, di rumah, di depan kamera, bahkan setelah salat!"
Marti tertawa kecil. "Oh... jadi kamu berani ngajarin ibu mertuamu sendiri? Berani kamu ya!"
Pukul 06.32 -- Benteng Pecah
"Selama ini saya diam, Bu. Karena saya pikir sabar itu mulia. Tapi sabar yang dipelintir jadi alasan untuk menyakiti, bukan lagi ibadah. Itu penindasan."
Suara Marti mulai naik, "Kamu sudah berubah. Gara-gara istrimu. Perempuan remndahan yang tidak sekolah itu. Jelek lagi ...!"
Tiba-tiba...
Dariawati berdiri. Ia melangkah maju, tubuhnya gemetar.
"Jangan hina saya, Bu. Saya tidak minta dilahirkan jelek. Tidak sekolah juga karena ibu pilih kasih. Saya perempuan yang selama ini mengurus cucu-cucu Ibu, menyuapi, mencuci pakaian dalam mereka, menyiapkan makanan tiap pagi... bahkan ketika saya sedang berdarah setelah melahirkan. Tapi Ibu tak pernah bilang terima kasih. Bahkan sebaliknya... menjadikan saya bahan lelucon di TikTok."
Marti terdiam. Napasnya terengah. Tapi sebelum bisa membalas, bayi Dariawati menangis dari kamar. Daria langsung berlari masuk.
Pukul 06.45 -- Kamera Mati, Akal Ikut Mati