“Murid-murid, pada hari senin ini
marilah kita belajar tatabahasa
dan juga sekaligus berlatih mengarang
bukalah buku pelajaran kalian
halaman enam puluh Sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh asal membangun’
nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
ada yang memutar pensil dan bolpoin
ada yang meletakkan ibu jari di dahi
ada yang salah tingkah, duduk gelisah
memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
maka tak ada seorang mengacungkan tangan
kalau tidak menunduk seumbunyi dari incaran guru
murid-murid itu saling berpandangan saja
akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
membangun itu boleh, asal mengeritik
mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
membangun mengeritik itu boleh asal
mengeritik membangun itu asal boleh
mengeritik itu membangun
membangun itu mengeritik
asal boleh mengeritik, boleh itu asal
asal boleh membangun, asal itu boleh
asal boleh itu mengeritik boleh asal
itu boleh asal membangun asal boleh
boleh itu asal
asal itu boleh
asal asal
itu itu
itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
sudah kalian dengar ‘kan
apa komentar kamu temtamh karyanya tadi?”
Kelas itu tida menit dimasuki sunyi
tak seorang mengangkat tangan
kalau tidak menunduk di muka guru
murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
membangun itu mengeritik asal boleh
bangun bangun membangun kritik mengeritik
mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung ding dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asal boleh.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
tapi tadi tidak ada kosa kata lani sama sekali
kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
itu kelemahan kalian yang pertama
dan kelemahan kalian yang kedua
kalian enemi referensi dan melarat bahan perbandingan
itu karena kalian malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
mana ada dididik mengembangkan logika
mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
pak Guru sudah tahu lama sekali
mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun
puisi
tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
1997
Catatan menapaki:
Posting ini saya dedikasikan buat kompasianer yang juga sedang menjadi guru. Terlebih lagi bagi guru bahasa di sekolah-sekolah. Sajak Taufik Ismail ini mengingatkan saya pada guru bahasa saya ketika sekolah. Tak lebih dari apa yang digambarkan penerima American Field Service International Scholarship ini. Karya-karyanya begitu menohok otak saya. Dalam Prahara Budaya membuat saya berpikir keras. Bukan karena sesama alumi Pelajar Islam Indonesia, tapi Kanda Taufik Ismail memang benar-benar membuat saya banyak berpikir kembali. Salam kompasianer.
Oleh Taufik Ismail