Mohon tunggu...
Artikaaaa
Artikaaaa Mohon Tunggu... Penulis

Menyukai cerpen, puisi, dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pinjaman dari Langit

12 Maret 2025   11:43 Diperbarui: 12 Maret 2025   11:43 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : freepik.com

Pertanyaan tak berhenti bertumpuk pada kepalaku, sedangkan netraku tak melepaskan diri dari sosok perempuan yang sibuk kesana kemari menyombongkan diri. Mengapa dan haruskah? Lagipula itu bukan miliknya, dia terlalu jahat jika membawa dan mengangkatnya tinggi hanya untuk dilihat orang lain.

"Tidak bisakah kau berhenti?"

Astaga, mulut ini sudah tidak kupegang lagi kuasanya. Aku hanya berharap, logika tak lagi seberani itu untuk melukai hati orang di depannya. "Kau tidak malu?"

Perempuan itu memegang kedua bahuku, sedikit memberinya tekanan, "Kenapa kau menjadi aneh lagi? Bukankah sudah ku katakan, bahwa ini adalah rutinitas yang tidak mungkin hilang. Lagipula, darimana kau mengetahui kata malu? Kau tau artinya?"

"Memangnya aku bodoh sepertimu? Kau sekarang telah keluar dari jalan, benar-benar bebas tanpa arah, dan tersesat atas kehendakmu sendiri." Logika mencibirnya. Dalam hati, aku mengucap kalimat penenang tiada henti. Harap-harap cemas pada keputusan logika yang tidak bisa dimengerti lagi.

Logika itu, keras kepala. Dia tidak akan mendengarkan siapun, bahkan aku sebagai pemiliknya. Dia hampir sama dengan perempuan di depannya, keduanya bebas tanpa arah. Namun, logika benar-benar tidak memperdulikan apapun disekitarnya, dia hanya terpacu pada dirinya sendiri, memberi kekuatan dan benteng untuk menepis hati yang bodohnya sampai membuat kehabisan kata.

"Ini hidupku, sudah jelas menjadi hak ku tentang bagaimana aku bertindak. Tidak bisakah kau diam dan melihat saja?"

Logika mencibirnya lagi, "Kau tidak bisa berpikir, karena itu kau harus mampu menahan diri. Bukan malah bebas berkeliaran memamerkan fisik yang bahkan bukan milikmu!"

Aku mengangguk, setuju dengan logika. Fisik yang sedari tadi ia bawa kesana kemari, bertingkah ceroboh padahal itu adalah milik tuhan. Hati, logika, bahkan aku tidak berhak seenaknya. Ada kalanya, fisik itu nanti akan diminta lagi dan ketika itu terjadi, apa yang hendak ia harapkan dari manusia yang hanya memandang apa yang terlihat.

Manusia itu unik, mereka melihat melalui telinga, dan menelan sesuatu yang telah dikunyah oleh orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun