Mohon tunggu...
Melinda Cahya Sari
Melinda Cahya Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nuswantoro

Senang menulis dan membaca. Hal-hal besar berawal dari hal kecil yang kamu mulai hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pembangunan PLTN: Jalan Keluar Isu Krisis Energi

22 Juli 2023   23:25 Diperbarui: 22 Juli 2023   23:27 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Foto: DW (News) 

Belakangan ini, isu mengenai transisi energi dan pembangunan PLTN sebagai jalan keluar masalah menjadi topik yang banyak dibicarakan. Salah satunya adalah rencana Indonesia untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam waktu dekat. 

Pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) adalah proses konstruksi dan pengembangan fasilitas yang digunakan untuk menghasilkan listrik dengan menggunakan energi nuklir. PLTN menggunakan reaksi nuklir yang menghasilkan panas yang digunakan untuk menghasilkan uap, yang kemudian digunakan untuk memutar turbin yang menghasilkan listrik.

Saat ini, pemerintah tengah berupaya untuk mempercepat target operasi komersial dari PLTN ke dalam jaringan kelistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) paling cepat pada tahun 2032 mendatang. Hal ini dapat diketahui dari upaya pemerintah dalam merevisi lini masa pemanfaatan nuklir secara komersial yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Selain itu, diketahui pemerintah telah merilis aturan tentang penetapan wilayah usaha pertambangan (WIUP) mineral radioaktif yang tertulis di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2023 Tentang Wilayah Pertambangan yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2023.

Presiden Joko Widodo telah menyuarakan komitmen Indonesia untuk merealisasikan Net Zero Emission Carbon (NZE) pada tahun 2060. Menyusul kebijakan ini, berbagai pembangkit listrik bertenaga fosil seperti minyak bumi dan batu bara akan dipensiunkan dan sebagai gantinya akan diganti dengan sumber energi baru dan terbarukan, salah satunya adalah nuklir. Pada tahun 2049 sendiri, ditargetkan harus ada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang beroperasi sebesar 3,5 GW. Saat ini, Indonesia telah menelaah dua lokasi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir yang berlokasi di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka Belitung. Dua lokasi tersebut dipilih mempertimbangkan risiko gempa yang rendah, dukungan pemerintah daerah setempat, dan permintaan listrik yang prospektif.

Tenaga Ahli Utama Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Surat Indrijarso, berpendapat bahwa di antara sejumlah opsi energi baru dan terbarukan yang ada, nuklir dapat menjadi jawaban dalam transisi energi. Selain itu, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN atau Bappenas, Nizhar Marizi, menyampaikan bahwa pembangunan PLTN memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan pembangunan pembangkit listrik lainnya. Kelebihan tersebut di antaranya adalah PLTN hanya membutuhkan area yang kecil, pembangunannya yang fleksibel karena dapat dibangun dalam skala kecil maupun skala besar, dan memiliki biaya operasional yang rendah. Terlepas dari sisi kontroversialnya, rencana ini dimaksudkan untuk mengembangkan energi alternatif karena adanya isu ketahanan energi di Indonesia, dampak buruk dari energi fosil, serta ketersediaan minyak dan gas yang mengalami penurunan.

Di sisi lain, PLTN yang digadang-gadang dapat menjadi jawaban dari transisi energi, memiliki beberapa hal harus diperhatikan seperti industri pendukung, pengolahan limbah nuklir, penambangan uranium, kualitas sumber daya manusia, survei kelayakan, dan lain sebagainya. Selain itu, ditinjau dari segi perundang-undangan dan perizinan, pembangunan PLTN membutuhkan proses yang panjang karena dipengaruhi oleh aspek politik dan sosial seperti kutipan pernyataan Direktur Program Just Transition iForest India, Srestha Banerjee, yang mengatakan bahwa transisi energi lebih cenderung ke urusan politik, bukan sepenuhnya masalah teknis.

Menurut survei yang diadakan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sendiri, tingkat penerimaan energi nuklir di Indonesia mencapai 86%. Nizhar mengatakan masih diperlukan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan tingkat penerimaan energi nuklir di Indonesia. Menurutnya, pengembangan teknologi harus terus dilakukan untuk meningkatkan keamanan penggunaan energi nuklir di Indonesia, mulai dari keamanan sistem pendinginan, reaktor nuklir, serta sistem penyimpanan dan pengolahan limbah nuklir yang lebih baik. "Pengembangan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia untuk penggunaan energi nuklir di Indonesia," ujar Nizhar.

Adapun dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada, Yudiutomo Imardjoko, menyampaikan bahwa pembangunan PLTN harus memiliki tingkat keamanan yang ekstra tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan teknologi, salah satunya adalah Artificial Intelligence (AI) yang dapat mengurangi kontrol dari manusia dan mengatasi bencana yang kemungkinan terjadi. Pengembangan PLTN di Indonesia sendiri dipastikan telah memiliki rencana pembangunan dan pengolahan limbah yang aman, mulai dari sistem reaktor nuklir, hingga penyimpanan limbah nuklir. Pengembangan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia untuk penggunaan energi nuklir di Indonesia, sehingga PLTN dapat terus dikembangkan dan digunakan untuk mendukung Net Zero Emission Carbon (NZE) di Indonesia dengan tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun