Oleh : Meliana Chasanah
Belum lama ini, para wakil rakyat telah meresmikan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada saat sidang paripurna. Selain dari itu, mereka juga telah menyepakati tarik Pajak Pertambahan Nilai (PNN) yang naik hingga sebesar 11 persen mulai April 2022.
UU HPP tersebut juga mengatur berbagai hal, mulai dari tarif PNN, NIK menjadi NPWP, pajak karbon, hingga pemberian tax amnesty. Dalam UU HPP menambahkan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak (WP) orang pribadi (OP).Â
Dengan menambahkan fungsi NIK menjadi NPWP jelas membuat rakyat khawatir. Karena kebijakan pemerintah tersebut menjadikan seluruh masyarakat berkewajiban membayar pajak.
Neilmaldrin Noor, selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), merespons kekhawatiran dengan mengatakan bahwa pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak.
Ada pun Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, menyatakan, dengan adanya kebijakan NIKKTP untuk menggantikan NPWP akan memudahkan wajib pajak untuk menjalankan kewajiban pajak mereka.
Melalui UU HP, diatur pula bahwa wajib pajak yang memiliki pendapatan Rp 54 juta per tahun (RP 4,5 juta per bulan),tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh). Bagi wajib pajak jika memilikipenghasilan Rp 60 juta per tahun, maka akan dikenakan pajak PPh sebesar 5 persen.
Selain itu, UU HPP dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasionalsecara mendiri menuju rakyat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. (Kompas.com, 19/10/2021)
Melihat kebijakan pemerintah terkait UU HPP tidak benar-benar dikaji. Kebijakan ini seolah tidak mempertimbangkan kesejahteraan, dan apakah benar-benar menciptakan keadilan bagi rakyat? Namun, sepertinya dengan kebijakan UU HPP malah menambah derita rakyat.
Pengesahan UU HPP jelas menambah persoalan baru. Sebab, kenaikan PPN 11 persen kembali akan membebani rakyat. Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira angkat bicara. Ia menegaskan ada catatan yang menjadikan reformasi pajak tidak bisa optimal dan cenderung menghambat pemulihan ekonomi.
Ia juga menyebutkan tarif PPN yang akan naik 11 persen sanngat berisiko terhadap pemulihan ekonomi terutama dampak dari daya beli masyarakat kelas menengah. "Jika harga barangnya naik, maka terjadi inflasi. Sementara daya beli kelas menengah ke bawah akan langsung pulih pada 2022. Alhasil, masyarakatnya punya dua pilihan, yaitu mengurangi belanja atau mencari barang yang lebih murah", ujar Bhima. (Kompas.com, 19/10/2021)