Mohon tunggu...
Meldy Muzada Elfa
Meldy Muzada Elfa Mohon Tunggu... Dokter - Dokter dengan hobi menulis

Internist, lecture, traveller, banjarese, need more n more books to read... Penikmat daging kambing...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Gagal Pulih Sindrom pada Lanjut Usia, antara Tuntutan Sembuh dan Kenyataan

6 Juli 2022   22:23 Diperbarui: 7 Juli 2022   02:07 3896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasien lansia| Dok AFP PHOTO/GETTY IMAGES NORTH AMERICA/Go Nakamura via Kompas.com

"Dok... saya mau komplain dengan ibu saya, sebelum sakit kemarin ibu masih bisa beraktvitas sendiri secara mandiri, tapi kenapa sekarang setelah dirawat dokter dan dikatakan sembuh, ibu terlihat tidak bisa mandiri lagi. Kadang makan harus dibantu, mengeluh sering lemas bahkan kadangkala pipis di celana," protes seorang keluarga pasien ketika membawa ibunya kontrol pasca dirawat di rumah sakit.

Kalimat protes di atas pernah dialami oleh sejawat dokter yang merawat seorang ibu lanjut usia (lansia) dengan infeksi paru. Memang menurut pengakuan keluarga, sebelum sakit pasien tersebut dalam keadaan sehat dan mandiri. 

Melakukan aktivitas sehari-hari tanpa dibantu oleh orang lain. Dalam beberapa hari sebelum masuk rumah sakit (RS) pasien cenderung menjadi lemas, tidak mau makan dan batuk-batuk, sehingga pasien dibawa ke RS dan diputuskan dirawat karena dikatakan infeksi paru.

Selama perawatan, sejawat dokter telah memberikan terapi yang tepat dan beberapa hari kemudian pasien dinyatakan sembuh dan dikatakan boleh pulang dan selanjutnya kontrol untuk melihat perkembangan kesehatan beliau. 

Nah, dari sinilah ternyata muncul keluhan yang 'dianggap' keluarga adalah suatu masalah. Karena walaupun sudah dinyatakan sembuh tapi kenapa pasien menjadi ketergantungan dengan keluarga dalam melaksanakan aktivitas harian alih-alih sehat mandiri seperti yang dulu.


shutterstock.com
shutterstock.com

Gagal Pulih Sindrom

Kasus di atas adalah suatu sindrom yang jamak terjadi pada pasien lanjut usia dimana dalam istilah kedokteran disebut dengan Gagal Pulih Sindrom. 

Sindrom gagal pulih pada lanjut usia adalah konsep yang relatif baru namun sering ditemukan dalam praktik klinis. Istilah dalam bahasa Inggris disebut failure to thrive ini adalah suatu keadaan penurunan fungsi tubuh seseorang secara progresif (makin memberat) akibat berbagai faktor yang meliputi penyakit kronik dan stres metabolik.

Angka kejadian terjadinya gagal pulih ini meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan oleh karenanya beban biaya perawatan, morbiditas (angka kesakitan), dan mortalitas (angka kematian)-pun meningkat. Bahkan dikatakan sindrom gagal pulih pada lanjut usia di masyarakat adalah 5-35% dan meningkat pada pasien di panti jompo hingga mencapai 24-40%.

Sekarang mari kita telaah, bagaimana gagal pulih sindrom ini terjadi.

Gagal pulih sindrom memiliki 4 tanda yang sering ditemukan dan tanda-tanda ini berpengaruh terhadap outcome/luaran pasien yang lebih buruk. Empat tanda tersebut antara lain penurunan kemampuan fisik, malnutrisi (kurang gizi), depresi dan penurunan kognitif (daya ingat/memori). 

Ke-4 tanda itu terjadi karena kondisi penuaan pada lansia akan terjadi berkurangnya berat badan dan ketebalan otot. Hal ini terjadi karena pada lansia terjadi gangguan pada nutrisi karena beberapa masalah antara lain berkurangnya selera makan, kemampuan mencerna makanan tidak sebaik saat muda, adanya gigi geligi yang tanggal dan adanya penyakit kronik yang diderita yang menyebabkan makanan tidak dapat dimetabolisme secara maksimal. 

Kurangnya asupan makanan, kurangnya asupan mikronutrien (nutrisi mikro), ataupun karena adanya penyakit akan menyebabkan keseimbangan energi dan nitrogen yang negatif yang kemudian juga berkontribusi terhadap penurunan ketebalan otot. 

Selain itu asupan nutrisi dan mikronutrien yang berkurang juga akan mengurangi kemampuan tubuh dalam memproduksi hormon, sel-sel imun, dan zat terkait lainnya yang diperlukan sehingga berdampak pada pengurangan kekuatan dan laju metabolisme yang kemudian juga akan menyebabkan penurunan aktivitas tubuh, gangguan pengaturan sistem saraf, serta pengaturan sistem imun. Hal ini yang menyebabkan pasien menjadi malnutrisi (kurang gizi).

Kurang gizi ini akan berdampak terhadap aktivitas fisik yang menjadi lemah, sehingga pasien akan cenderung rendah diri, bersedih dan merasa tidak berguna yang akhirnya menjadikan pasien depresi dan penurunan daya ingat. Nah, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menjadi rentan terhadap terjadinya gagal pulih ketika pasien menderita sakit. 

Untuk melihat apakah pasien tersebut dapat dikatakan gagal pulih walaupun sudah dinyatakan sembuh dari sakitnya, kita bisa melihat bagaimana kemandirian aktivitas harian pasien pada saat sebelum sakit (premorbid) dibandingkan dengan pada saat sakit dan sesudah sakit. 

Indeks Barthel Modifikasi (Dokumentasi pribadi)
Indeks Barthel Modifikasi (Dokumentasi pribadi)

Di atas adalah adalah form indeks barthel yang dapat diisi dengan mudah bahkan oleh orang awam sekalipun. Yang dilakukan pertama menilai bagaimana skor pada saat lansia sebelum sakit, kemudian dilanjutkan menilai pada saat keadaan sekarang (saat sakit) atau pada saat nanti sudah sembuh. 

Jika dalam penilaian tersebut, skor sebelum sakit (premormid) terjadi penurunan dengan skor lansia sesudah sakit (walaupun sudah dinyatakan sembuh), maka kemungkinan lansia tersebut masuk ke dalam keadaan gagal pulih. 

Namun jika nilai sebelum sakit memang sudah rendah, misalnya ketergantungan berat maka memang kondisi pasien sudah jatuh dalam keadaan gagal pulih, bahkan akan menimbulkan waktu perawatan yang lebih lama dari biasanya.

Bagaimana cara mencegah gagal pulih sindrom?

Sebelumnya sudah disampaikan bahwa ada 4 hal yang menyebabkan seseorang akan menjadi gagal pulih yaitu malnutrisi (kurang gizi), penurunan aktivitas fisik, depresi dan penurunan daya ingat (kognisi). 

Maka ketika terdapat pertanyaan bagaimana cara mencegah terjadinya gagal pulih sindrom, jawabannya adalah mencegah lansia masuk ke kondisi 4 hal yang disebutkan tersebut. Seorang dokter wajib melakukan penyapihan (skrining) pada lansia dengan tujuan mengetahui 4 hal yang telah disebutkan di atas tadi. 

Dokter harus mengenal apakah lansia tersebut masuk ke dalam kategori gizi normal, risiko gizi kurang atau malah sudah sampai terjadi gizi buruk. Jika kondisi gizi pasien baik, maka dipertahankan dengan memberikan edukasi yang baik kepada pasien untuk selalu menjaga makanan yang berigizi seimbang. 

Namun jika terjadi risiko gizi kurang atau sudah kurang gizi, maka dokter wajib mencari penyebab dan jalan keluar, apakah karena adanya gangguan mekanik seperti gigi geligi yang tanggal sehingga pasien kesulitan makan akhirnya hanya makan seadanya, ataukan ada penurunan nafsu makan, atau adanya gangguan pencernaan yang harus di atas segera, agar lansia tidak jatuh dalam keadaan malnutrisi.

Dalam segi aktivitas fisik, dokter harus mendeteksi lansia apakah masuk ke dalam keadaan sehat (robust) atau masuk ke dalam keadaan rapuh (frail). Hal ini penting karena dalam keadaan rapuh/frailty daya tahan tubuh (imun) dan sistem pengaturan hormon tidak berjalan dengan baik, sehingga rentan memperburuk keadaan pasien ketika sakit.

Form Untuk Menilai Skor Rapuh/Frailty (Dokumentasi pribadi)
Form Untuk Menilai Skor Rapuh/Frailty (Dokumentasi pribadi)

Untuk melihat apakah masuk dalam keadaan rapuh (frail) cukup dengan mengisi form di atas, ketika skornya adalah 0 maka lansia tersebut bugar (robust), namun jika skot di atas atau sama dengan 4, maka lansia masuk ke dalam keadaan rapuh dan hal ini rentan menyebabkan terjadi gagal pulih pada lansia. 

Bagaimana mengatasinya jika sudah terjadi risiko rapuh bahkan rapuh? 

Dalam beberapa sumber dan jurnal mengatakan untuk mengubah status dari rapuh menjadi bugar memerlukan tantangan yang berat. Intervensi yang dilakukan antara lain melakukan latihan fisik yang terstruktur dan berkelanjutan, terapi okupasi, suplemen nutrisi, dan mengurangi obat-obat yang tidak perlu (pada lansia dengan penyakit kronik dan mengonsumsi banyak obat). 

Selain itu, mengubah status ini juga memperhatikan banyaknya penyakit kronik (komorbid) yang diderita oleh lansia. Semakin banyak penyakit kronik yang diderita, maka akan semakin sulit mengubah status rapuh pada lansia tersebut.

Charlson comorbidity index, sistem skor untuk kategori komorbid (Dokumentasi pribadi)
Charlson comorbidity index, sistem skor untuk kategori komorbid (Dokumentasi pribadi)

Di atas merupakan tabel indeks untuk menghitung nilai komorbid pada lansia dengan penyakit kronik. Semakin banyak penyakit kroniknya, nilai akan semakin tinggi dan ini akan mempengaruhi kerapuhan lansia yang nantinya akan menyebabkan terjadinya gagal pulih sindrom.

Kemudian selanjutnya dokter juga mesti menilai bagaimana kondisi mental pasien apakah terjadi depresi. Pada lansia terjadi suatu sindroma yang sering terjadi yaitu isolation. 

Sindrom ini terjadi karena lansia merasa dirinya menjadi tidak berguna karena menganggap diri sudah tidak produktif lagi (pensiun). Bahkan karena mulai diserang penyakit kronik dan memerlukan biaya pengobatan, lansia menganggap dirinya adalah beban keluarga. 

Hal ini menyebabkan lansia menarik diri, berkurangnya minat, mengurung diri, dan menghindari bersosialisasi sehingga menyebabkan depresi. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa depresi akan menyebabkan timbulnya penyakit kronik dan memperberat penyakit kronik yang sudah ada sebelumnya. 

Instrumen untuk menilai lansia depresi atau tidak (Dokumentasi pribadi)
Instrumen untuk menilai lansia depresi atau tidak (Dokumentasi pribadi)

Dan yang terakhir adalah menilai bagaimana kondisi daya ingat pasien (kognisi). Banyak instrumen atau cara penilaian yang dapat dilakukan dokter untuk melihat apakah lansia tersebut masih baik daya ingatnya ataukan sudah mengarah kepada gangguan kognisi (daya ingat) bahkan masuk ke dalam keadaan demensia alzheimer (pikun). 

Mulai dari metode wawancara sampai metode pengisian kuesioner yang melibatkan pasien. Yang menjadi garis bawah adalah ketika penderita sudah mengalami penurunan daya ingat, maka dokter wajib untuk memberikan terapi untuk memperlambat penurunan daya ingat tersebut dan bahkan melakukan intervensi untuk memicu daya ingat pasien tersebut. Dalam hal ini kolaborasi antar dokter ahli diperlukan.

Pentingnya edukasi keluarga pasien

Menilik apa yang telah disampaikan di atas, penting bagi seorang dokter untuk melakukan edukasi (informasi) kepada keluarga pasien ketika merawat pasien khususnya lansia. Apalagi ketika didapatkan tanda yang menyebabkan kemungkinan terjadinya gagal pulih sindrom pada lansia tersebut.

Sangat wajar jika keluarga mengharapkan pasien sembuh dan dapat beraktivitas seperti sediakala, karena itulah pengertian sembuh dalam paradigma keluarga, yang menjadikan hal itu menjadi tuntutan indikator keberhasilan dokter dalam menangani pasien.

Namun dokter juga wajib menilai kondisi pasien tersebut dan menginformasikan secara jelas kenyataan yang ada, sehingga tuntutan maksimal yang diinginkan oleh keluarga pasien berubah menjadi penerimaan kenyataan yang ada, jikalau memang ternyata dalam proses pengobatan dan perawatan tersebut terjadi gagal pulih sindrom. 

Memang istilah gagal pulih sindrom adalah suatu istilah yang jarang didengar dan masih dianggap baru, semoga tulisan ini dapat membuka pemikiran kepada dokter, tenaga kesehatan dan masyarakat, agar dalam melayani pasien lansia tidak hanya berpedoman pada organ base (berdasar sakit per organ saja), tetapi secara komprehensif atau menyeluruh dengan mengenal risiko bahkan kalau bisa mencegah sampai terjadi hal-hal yang disebutkan di atas.

Salam sehat....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun