Tujuh tahun sudah sejak saya membuka bimbel ini. Jika saya menengok ke belakang, semua terasa seperti perjalanan panjang yang penuh warna. Awalnya, niat saya sederhana saja. Saya ingin berfungsi bagi sesama --- membantu anak-anak belajar, menolong orang tua yang kesulitan mendampingi anak mereka di rumah, sambil mencari tambahan penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ternyata mengajar bukan sekadar pekerjaan. Ini panggilan hati.
Darah guru memang sudah mengalir di diri saya sejak dulu. Setiap kali saya melihat anak-anak memahami pelajaran, semangat mereka tumbuh, dan kepercayaan diri mereka mulai muncul, ada sukacita yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dari sinilah saya akhirnya terdorong untuk membuka bimbel rumahan. Tempat kecil ini menjadi ladang pelayanan saya --- bukan hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan.
Tentu saja perjalanan tujuh tahun ini tidak selalu mudah. Ada banyak lika-liku yang harus saya hadapi. Tantangan datang dari berbagai arah --- dari keluarga yang kadang tidak memahami, dari lingkungan yang sempat meragukan, hingga dari dalam diri sendiri yang kadang lelah dan ingin menyerah. Tapi dalam setiap perjuangan itu, saya merasakan penyertaan Tuhan yang nyata. Seolah Dia selalu berbisik lembut, "Teruslah berjalan, Aku bersamamu."
Di tengah dinamika mengajar, ada satu hal penting yang sangat saya pelajari --- pentingnya mengajarkan toleransi.
Saya tinggal dan melayani di lingkungan yang mayoritas beragama Islam, sementara saya sendiri seorang Kristen. Hampir semua murid saya --- sekitar 95 persen --- berasal dari latar belakang yang berbeda dengan saya. Namun, justru di sanalah saya melihat keindahan kasih Tuhan yang melampaui batas-batas agama dan budaya.
Setiap hari, saya belajar bagaimana cara hidup berdampingan tanpa saling menghakimi. Anak-anak belajar bahwa berbeda itu bukan masalah, melainkan kekayaan. Saya ajarkan mereka untuk menghormati siapa pun, berbuat baik kepada siapa pun, tanpa melihat latar belakangnya. Di bimbel ini, kami belajar bukan hanya matematika atau bahasa, tetapi juga tentang cinta, hormat, dan kemanusiaan.
Saya selalu percaya bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal nilai dan prestasi, tetapi tentang membentuk karakter. Toleransi bukanlah teori yang bisa diajarkan lewat buku, tetapi lewat teladan dan kebersamaan sehari-hari. Saat anak-anak melihat saya menghargai keyakinan mereka, mereka belajar melakukan hal yang sama kepada orang lain. Saat mereka merasa diterima tanpa syarat, mereka belajar menerima perbedaan dengan hati yang terbuka.
Ada satu momen yang selalu saya ingat. Seorang murid pernah berkata, "Bu, saya suka belajar di sini, soalnya Ibu baik sama semua orang." Kalimat sederhana itu membuat saya hampir menangis. Saya sadar, di mata anak-anak, nilai-nilai besar seperti kasih dan toleransi bisa mereka tangkap dari hal-hal kecil yang kita lakukan dengan tulus.
Sekarang, ketika melihat perjalanan tujuh tahun ini, saya hanya bisa bersyukur. Semua yang saya alami, semua pelajaran dan pertumbuhan ini, adalah anugerah Tuhan semata. Saya tahu Tuhan belum selesai dengan cerita ini. Masih banyak hal yang ingin Dia kerjakan melalui bimbel kecil ini --- tempat di mana anak-anak bukan hanya cerdas secara akademis, tapi juga belajar menjadi manusia yang penuh kasih dan saling menghargai.
Mungkin inilah cara Tuhan memakai saya --- seorang guru bimbel yg memiliki kasih tampa batas kepada anak2.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI