Perintah menikah ini mengisyaratkan bahwa pernikahan harus dilakukan secara jelas, sah, dan dapat dibuktikan. Oleh karena itu, dalam praktik hukum Islam di Indonesia, pencatatan pernikahan menjadi keharusan administratif sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 2.
Tafsir al-Misbah oleh Quraish Shihab menyebut bahwa pencatatan pernikahan merupakan upaya menjaga kemaslahatan umum, terutama dalam hak waris, nasab, dan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak.
Hikmah dan Relevansi
Baik dalam hal hutang maupun pernikahan, pencatatan merupakan bentuk transparansi, perlindungan hukum, dan pencegahan konflik. Dalam masyarakat modern, hal ini menjadi sangat penting mengingat kompleksitas hubungan sosial dan ekonomi.
Dengan mencatat hutang dan pernikahan, Islam telah lebih dahulu memberikan prinsip legalitas yang kini diadopsi oleh sistem hukum modern: tertib administrasi dan perlindungan hak.
Kesimpulan
Ayat-ayat dalam Al-Qur'an, khususnya dalam QS. Al-Baqarah: 282 dan prinsip-prinsip dalam pernikahan, menegaskan pentingnya dokumentasi dalam segala urusan yang melibatkan hak dan kewajiban. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat praktis, progresif, dan melindungi seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai pelajar hukum Islam, kita patut merenungkan bahwa Islam telah memberikan pedoman hukum yang adil dan relevan sepanjang masa, termasuk dalam hal yang terlih
Departemen Agama RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2019.
Daftar ReferensiÂ
Al-Qurthubi, Abu 'Abdillah. Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006.