Saya benar-benar lupa bahwa Hari Pendidikan Nasional terpisah dengan Hari Guru. Saya pikir keduanya terlalu identik untuk menjadi dua.
Maka untuk hari yang sama pada tanggal yang berbeda ini saya ingin menceritakan satu-dua cerita selama dua belas tahun lebih menjadi murid.
Beberapa yang saya pilih tidak lantas menjadikan yang lainnya tidak lebih penting, tetapi mungkin yang ini dan yang itu akan lebih mengena untuk ditarik tawa atau kegelisahannya. Mungkin akan jadi selintas perasaan bersama yang enak dihela begitu saja.
Selepas lulus sekolah dasar, saya masuk ke sekolah menengah pertama yang lumayan kompetitif. Meski ada terselip satu agama resmi di Indonesia pada penghujung nama instansinya, tetapi pencapaian untuk ilmu pengetahuannya juga patut mendapat salut.
Pada tingkat dua, kami diberi tugas untuk menulis puisi. Bahasa Indonesia tentunya. Sialnya, saya menyadari ada tugas itu belasan jam sebelum pengumpulan.Â
Buru-burulah saya menggunting buku pelajaran lain (karena harus diberi ilustrasi) dan menulis dua-tiga bait untuk sekadar menghilangkan kekhawatiran.
Saat hari pengumpulan, guru mengoreksi tugas kami. Satu persatu buku dilihat dan dipindah ke sebelah kanannya, tanda sudah dinilai. Tiba saatnya buku saya dikoreksi, dari jauh saya melihat sampul buku saya agak lama dilihat.
Agaknya guru saya menemukan cinta pertamanya pada salah satu kata yang saya tulis atau apa, saya tidak tahu.
Nama saya dipanggil, seisi kelas menoleh ke arah saya. Ketika sudah ada di depan guru, ia berkata.
"Nduk, kamu menyadur (menyalin) ini dari mana?"
Saya yang terkejut buru-buru menyanggah ucapan beliau dengan nada meninggi, semoga tidak setinggi yang saya bayangkan sekarang.
Beliau, yang mungkin bisa membaca raut muka saya, kemudian menyuruh saya kembali duduk.
Saat itu saya merasa direndahkan.Â
Padahal saya lebih siap dengan kata-kata belum cukup, belum baik, akan lebih bagus bila diperbaiki, tetapi pertanyaan itu kemudian menjelma menjadi pujian sesaat setelah kepala saya dingin.