Melani Salwa Putri /191251155
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Di era modern, konsumsi gula telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup generasi muda. Minuman kekinian, makanan cepat saji, serta camilan manis begitu mudah dijangkau dan digemari. Fenomena ini membuat generasi muda disebut sebagai generasi manis, sebuah istilah yang menggambarkan kecenderungan mereka terhadap pola makan tinggi gula. Namun, di balik kenikmatan tersebut tersimpan ancaman serius, yaitu meningkatnya risiko diabetes tipe 2 pada usia muda. Kondisi ini menuntut perhatian serius dari masyarakat dan dunia kesehatan, karena diabetes yang dulunya identik dengan usia lanjut kini mulai menyerang remaja dan dewasa muda.
Salah satu faktor yang memperburuk situasi ini adalah gaya hidup sedentari yang banyak dijalani generasi muda. Kemajuan teknologi mempermudah aktivitas sehari-hari, tetapi sekaligus mengurangi pergerakan fisik. Ketika pola konsumsi gula berlebih dipadukan dengan kurangnya aktivitas fisik, risiko obesitas meningkat, yang kemudian menjadi pintu masuk utama diabetes. Data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 10 orang di dunia hidup dengan diabetes, dan prevalensinya terus meningkat di kelompok usia muda. Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat adanya peningkatan signifikan prevalensi diabetes pada kelompok usia produktif.
Dari sisi kesehatan masyarakat, fenomena ini menimbulkan kekhawatiran besar. Diabetes tidak hanya berdampak pada individu yang mengalaminya, tetapi juga memberikan beban ekonomi dan sosial. Biaya pengobatan jangka panjang, komplikasi seperti penyakit jantung, ginjal, hingga kebutaan, dapat menurunkan produktivitas generasi muda. Hal ini jelas bertentangan dengan harapan bangsa untuk memiliki sumber daya manusia yang sehat, produktif, dan kompetitif.
Namun, di balik ancaman tersebut, terdapat peluang untuk melakukan intervensi. Pencegahan diabetes pada generasi muda dapat dimulai dari edukasi mengenai pola makan sehat, pembatasan konsumsi gula, serta peningkatan aktivitas fisik. Program promosi kesehatan yang kreatif dan dekat dengan anak muda perlu dikembangkan. Misalnya, kampanye melalui media sosial, penyediaan pilihan makanan sehat di lingkungan sekolah dan kampus, serta gerakan olahraga bersama yang menyenangkan. Selain itu, peran keluarga sangat penting dalam membentuk kebiasaan sehat sejak dini.
Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar. Regulasi mengenai pembatasan iklan minuman manis, pencantuman label gula pada produk, hingga penerapan pajak gula dapat menjadi langkah nyata untuk menekan konsumsi gula berlebih. Kolaborasi lintas sektor antara tenaga kesehatan, lembaga pendidikan, industri pangan, dan masyarakat sangat diperlukan agar intervensi dapat berjalan efektif. Dengan demikian, upaya pencegahan diabetes tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga gerakan kolektif yang melibatkan berbagai pihak.
Kesimpulannya, tren konsumsi gula yang tinggi pada generasi muda telah memunculkan ancaman serius berupa peningkatan risiko diabetes di usia muda. Masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata, karena dampaknya bukan hanya pada kesehatan individu, tetapi juga pada kualitas generasi bangsa. Oleh karena itu, langkah pencegahan harus segera dilakukan melalui edukasi, perubahan gaya hidup, regulasi pemerintah, serta dukungan keluarga dan masyarakat. Generasi muda harus diajak menyadari bahwa hidup sehat adalah investasi jangka panjang, dan bahwa manis sejati bukan berasal dari gula, melainkan dari kesehatan yang terjaga.
KATA KUNCI: Diabetes, Gula, Kebiasaan, Kesehatan, Remaja
DAFTAR PUSTAKA