Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengatakan Hal-hal yang Menjatuhkan Orang Lain adalah Kebiasaan Kita

21 November 2019   11:30 Diperbarui: 21 November 2019   11:35 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi neighbourhood (sumber: pxhere.com)

Semalam, kompor gas di rumahku bermasalah. Gasnya habis. Kemudian aku dan suamiku pergi ke minimarket untuk membelinya. Karena gasnya bermasalah, kami menukarkan gas tersebut dengan yang baru ke minimarket tadi. Saat keluar rumah untuk yang kedua kalinya, seorang tetangga bertanya pada kami, "kenapa gasnya dibawa ke sana kemari?"

"Gasnya nggak bisa dipasang," jawab suamiku singkat.

"Gaya-gayaan sih pake gas yang pink," kata tetangga itu lagi. "Saya pake yang ijo dari dulu nggak pakai tuker-tuker. Lancar-lancar saja."

Aku yang tadinya sibuk membetulkan letak gas di motor supaya aku bisa naik, jadi memperhatikan orang itu. Aku tadinya ingin memaki dan menyumpahi orang itu. Kalau dia belum punya masalah dengan gas bukan berarti semua orang tidak punya masalah kan? Apa dia harus mengalami hal buruk dengan gasnya supaya dia bisa memilih kata-kata yang lebih enak didengar? Sebelum ada kata yang keluar dari mulutku, suamiku mencolek lenganku dan kami segera pergi.

Ketika sampai di rumah lagi, aku masih dongkol dengan tetangga tadi. Aku nggak peduli dia mau pakai gas yang warna apa. Kenapa dia mengatai kami gaya-gayaan? Kami pakai gas warna pink yang berat bersihnya 5,5 kg karena kami merasa itu yang cocok untuk kami. Ukurannya pas untuk dibawa-bawa oleh kami yang cuma punya motor, tidak juga terlalu besar sehingga harganya sesuai dengan kantong kami, dan tidak terlalu kecil sehingga tidak perlu setiap minggu ganti.

Yang paling penting, kami beli gas pakai uang kami sendiri. Tidak meminta sama dia! Kami ke sana kemari membawa gasnya juga kami bawa sendiri. Enggak nyuruh dia!

Entah kenapa yah, mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan hati nampaknya adalah kebiasaan (kalau dibilang budaya, menurutku berlebihan) orang-orang di sekitarku. Sepertinya, kalau ada orang yang melakukan sesuatu atau punya barang yang berbeda dari dia artinya orang itu sok-sokan dan gaya-gayaan.

Aku jadi teringat ketika aku dan suamiku memutuskan untuk mengontrak rumah di tengah kota dan tidak tinggal di rumah orangtua suamiku yang jaraknya 16 km dari stasiun Bekasi. Yang menjadi pertimbangan adalah mobilitas kami berdua. Kalau kami mengontrak rumah di tengah kota, banyak tempat yang bisa aku jangkau sehingga aku bisa bepergian sendiri dan tidak bergantung pada orang.

Saat itu, tetangga dari mertuaku ada yang nyinyir pada suamiku, "ngapain sih, sok-sok ngontrak-ngontrak segala? Mending tinggal di rumah orangtua enak. Nggak bayar kontrakan jadi duitnya bisa ditabung. Lagian istrimu emang mau kerja apaan sih? Mending diam di rumah. Anak perempuanku juga di rumah aja. Kerja kan tanggung jawab laki-laki."

Karena saat itu aku nggak diajak ngomong, maka aku diam saja. Tapi ya kupingku panas mendengarnya. Maksudku, motivasi dia apa sih ngomong gitu ke suamiku? Dia ngomong gitu mikir nggak sih kalau uang yang buat beli bensin dari rumah mertua ke tempat kerja suamiku itu jauh lebih besar perbulannya dari bayar sewa rumah? Belum lagi biaya buat nitipin motor. Belum lagi waktu dan tenaga yang harus terbuang di jalanan.

Lagian nih, kalau anakmu nggak boleh kerja, kenapa anak orang lain juga harus ikut-ikutan nggak punya kegiatan, sih? Emang aku ngontrak rumah minta dibayari sama dia? Enggak, ya!

Yang paling menyakitkan dan sampai saat ini belum bisa termaafkan adalah omongan tetangga mertuaku yang mengatakan kalau pakaian pernikahanku seperti manten sunat. Aku sih belum tahu manten sunat itu yang seperti apa. Tapi dari caranya tertawa, aku yakin dia sedang menghina.

Waktu itu, aku benar-benar mau menepuk pundaknya dan berkata, "orang nikah di sini kayak apa sih?"

Namun saat itu, suamiku yang sudah lebih dulu naik pitam membentak orang itu, "gue tabok lo ngomong kayak begitu. Nggak lucu. Itu namanya adat, tau nggak?"

Aku berusaha untuk berfikiran positif bahwa mungkin dia memang tidak pernah melihat upacara adat pernikahan orang Jawa. Bisa jadi adat pernikahan dia berbeda denganku jadi dia meledek. Tapi rasa jengkel kembali menyeruak. Masak nggak tahu adalah alasan untuk meledek sih?

Ada sebuah artikel yang ditulis Daniel Prasatyo di Terminal Mojok sini. Judul tulisannya adalah "Bisa Nggak Sih Stop Ngasih Komentar Menjatuhkan yang Merusak Kesenangan Orang?". Dalam artikel tersebut, Mas Daniel membuat hipotesa: orang selalu berusaha menemukan celah untuk mencela dan menjatuhkan orang lain.

Aku rasa aku setuju dengan ucapannya. Tetangga mertuaku yang meledek keputusan aku dan suamiku untuk mengontrak rumah, tetangga mertuaku yang menghina pakaian pernikahanku, atau tetanggaku yang mengataiku gaya-gayaan adalah --mungkin-- orang-orang yang terbiasa untuk tidak memikirkan perasaan orang lain.

Mereka mungkin terbiasa berkomunikasi dengan cara seperti itu. Sehingga aku yakin, kalau mereka menerima kata-kata yang mereka lontarkan padaku, mereka akan bersikap biasa saja. Aku saja yang terjebak di kolam yang salah.

Tapi yang namanya tetangga, apa lagi tetangganya mertua, jelas aku tidak bisa memilih kan? Yang aku lakukan sekarang adalah mengurangi frekuensi berkomunikasi dengan mereka seminimal mungkin. Kalau perlu, hindari bertemu dengan mereka sebelum terjebak dengan obrolan-obrolan yang berakhir dengan tidak menyenangkan.

Yang jelas, aku dan suamiku menjadikan orang-orang ini sebagai pelajaran: kalau ada kata-kata yang tidak kami suka, jangan sampai kami ucapkan ke orang lain. Juga, kami belajar untuk mencari tahu, apakah orang lain akan terluka atau tidak dengan ucapan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun