Bab ini menguraikan dua jenis sumber hukum yang digunakan dalam Peradilan Agama, yaitu hukum materiel dan hukum formil. Hukum materiel bersumber dari fikih Islam yang kemudian dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam, sedangkan hukum formil mengacu pada hukum acara perdata (HIR dan RBg) yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
Sebelum adanya KHI (1991) dan UU No. 7 Tahun 1989, hakim Peradilan Agama menggunakan berbagai kitab fikih sebagai acuan, yang menyebabkan adanya perbedaan putusan antar pengadilan. Setelah KHI dan UU tersebut berlaku, terjadi keseragaman penerapan hukum Islam dalam praktik peradilan. Bab ini juga menyinggung pentingnya doktrin hukum dan yurisprudensi sebagai sumber tambahan bagi hakim dalam mempertimbangkan perkara di lingkungan Peradilan Agama.
Bab 14 -- Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bab ini membahas kekhususan Aceh sebagai daerah istimewa yang menerapkan sistem hukum Islam secara lebih luas melalui lembaga Mahkamah Syar'iyah. Sejarah panjang Aceh sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara menjadikan penerapan hukum Islam di wilayah ini lebih kuat dibanding daerah lain.
Mahkamah Syar'iyah Aceh memiliki yurisdiksi yang lebih luas, termasuk dalam perkara ekonomi syariah dan pidana ringan berbasis hukum Islam. Kekhususan ini didukung oleh peraturan perundang-undangan nasional serta aspirasi masyarakat Aceh sendiri. Bab ini menegaskan bahwa keberadaan Mahkamah Syar'iyah adalah bentuk pengakuan negara terhadap pelaksanaan hukum Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesimpulan
Buku Peradilan Agama di Indonesia memberikan gambaran menyeluruh mengenai perjalanan panjang lembaga peradilan agama dari masa pra-Islam hingga era modern. Sejak awal masuknya Islam ke Nusantara, sistem hukum Islam sudah mulai diterapkan secara informal melalui lembaga tahkim, kemudian berkembang menjadi peradilan agama resmi pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai dan Mataram. Perubahan besar terjadi pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, di mana kekuasaan peradilan agama dibatasi dan sering kali dilemahkan melalui kebijakan politik hukum yang diskriminatif. Namun, semangat umat Islam untuk mempertahankan eksistensi lembaga ini tidak pernah padam, bahkan menjadi bagian penting dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Memasuki masa kemerdekaan, posisi Peradilan Agama semakin kokoh melalui berbagai regulasi seperti Penetapan Pemerintah No. 5-SD Tahun 1946 dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang menegaskan kedudukan lembaga ini dalam sistem hukum nasional. Reformasi kelembagaan terus berlangsung hingga masa modern, terutama dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang menjadi pedoman utama hakim dalam menyelesaikan perkara keperdataan Islam. Integrasi Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung memperlihatkan pengakuan penuh terhadap eksistensinya sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang mandiri dan profesional. Hal ini juga menunjukkan kematangan negara dalam menempatkan hukum Islam sebagai sumber keadilan bagi masyarakat Muslim tanpa mengabaikan prinsip-prinsip konstitusi dan supremasi hukum.
Lebih jauh, buku ini menegaskan bahwa Peradilan Agama tidak hanya menjadi lembaga yudisial semata, tetapi juga simbol harmonisasi antara nilai-nilai keislaman dan sistem hukum nasional Indonesia. Pengalaman sejarah yang panjang membentuk karakter peradilan ini menjadi lembaga yang tidak hanya berorientasi pada hukum formal, tetapi juga pada keadilan moral dan spiritual. Dengan begitu, buku ini bukan hanya dokumentasi sejarah, melainkan juga refleksi intelektual tentang pentingnya integritas, independensi, dan keadilan dalam menegakkan hukum Islam di Indonesia yang majemuk dan berlandaskan Pancasila.
Kelebihan utama buku ini terletak pada kedalaman kajian sejarah dan analisis hukum yang sangat sistematis. Penulis mampu menguraikan perjalanan panjang Peradilan Agama dengan runtut dan detail, mulai dari masa kerajaan Islam, kolonial, hingga masa reformasi. Setiap bab tersusun secara logis dengan dukungan sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dan pandangan para ahli yang kredibel. Buku ini juga berhasil menghubungkan antara konsep dasar qaḍā’ dalam Islam dengan realitas sistem hukum nasional, sehingga pembaca dapat memahami evolusi peradilan agama tidak hanya dari sisi sejarah, tetapi juga dari perspektif teologis dan yuridis. Keunggulan lainnya adalah pemaparan komprehensif mengenai regulasi hukum seperti UU No. 7 Tahun 1989, Inpres No. 1 Tahun 1991, dan hubungan kelembagaan dengan Mahkamah Agung. Semua ini menjadikan buku ini rujukan penting bagi mahasiswa hukum, praktisi, serta siapa pun yang ingin memahami peran Peradilan Agama dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Kekurangan Buku