Mohon tunggu...
Meirda Maris
Meirda Maris Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Seorang Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perkawinan Islam Progresif Di Indonesia (Book Review))

10 Maret 2025   22:35 Diperbarui: 11 Maret 2025   07:29 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Identitas Buku 

Judul Buku: Hukum Perkawinan Islam Progresif Di Indonesia 

Penulis : Dr. Siti Nurjanah, M.Ag dan Dr. Agus Hermanto, M.H.I

Penerbit : CV. Literasi Nusantara Abadi

Kota Terbit : Malang 

Tahun Terbit : 2022

B. Latar Belakang Penulis 

Siti Nurjanah, lahir di Tanjung Karang pada 30 Mei 1968, merupakan akademisi di bidang hukum Islam. Ia menyelesaikan S-1 di Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung (1990), S-2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (M.Ag), dan meraih gelar doktor di UIN Raden Intan Lampung (2019). Saat ini, ia adalah Rektor IAIN Metro (2021-2025) dan sebelumnya telah mengemban berbagai posisi strategis, seperti Kepala Pusat Penjaminan Mutu dan Kepala Satuan Pengawas Internal. Selain mengajar berbagai mata kuliah, ia aktif dalam penelitian dan telah menulis banyak karya ilmiah terkait hukum Islam, gender, dan perlindungan anak.

Dr. Agus Hermanto, M.H.I, lahir di Lampung Barat pada 5 Agustus 1986, adalah akademisi dan pakar hukum Islam. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 di STAIN Ponorogo, S-2 di IAIN Raden Intan Lampung, serta meraih gelar doktor melalui program beasiswa 5000 Doktor di UIN Raden Intan Lampung pada 2018. Aktif sebagai dosen di Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, ia juga memimpin Pondok Pesantren Al-Faruq serta terlibat dalam berbagai organisasi, seperti MUI Lampung dan ADHKI Nasional. Selain itu, ia banyak menulis karya ilmiah dan buku tentang hukum Islam, gender, dan pendidikan.

C. Isi Buku 

Buku ini membahas dinamika hukum keluarga Islam yang terus berkembang seiring perubahan zaman, budaya, dan tuntutan kemaslahatan umat. Dengan pendekatan progresif, buku ini mengupas isu-isu kontemporer seperti poligami, nikah mut'ah, nikah siri, serta hak dan kewajiban suami istri, yang sering menimbulkan perdebatan. Kajian dalam buku ini menawarkan reinterpretasi terhadap konsep lama tanpa menghilangkannya, tetapi merekonstruksi dengan perspektif yang lebih relevan dan humanis. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam memahami hukum keluarga Islam yang tetap berlandaskan syariat namun adaptif terhadap perubahan masyarakat modern.

Bab 1 buku ini membahas Konsep Hukum Perkawinan Progresif, yaitu hukum Islam yang fleksibel dan kontekstual demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam hukum waris, Muslim di wilayah minoritas boleh menerima warisan dari non-Muslim untuk menghindari kemudaratan. Pada bab ini juga membahas Sejarah hukum progresif yang lahir dari ketidakpuasan terhadap sistem hukum di Indonesia, dengan tujuan membebaskan cara berpikir dan sistem hukum yang kaku agar lebih solutif. Lalu bab ini membahas Karakteristik hukum progresif yang meliputi kebebasan hakim dalam menemukan hukum yang berpihak pada kemanusiaan, berlandaskan keadilan dan moralitas, serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tujuan pembaruan hukum perkawinan progresif mencakup unifikasi hukum, peningkatan status perempuan, dan penyesuaian fikih dengan perkembangan zaman. Secara keseluruhan, bab ini menegaskan bahwa hukum perkawinan Islam harus fleksibel agar tetap relevan dan bermanfaat bagi masyarakat.

Bab II konstruksi hukum perkawinan islam di Indonesia, bab ini membahas tentang hukum perkawinan Islam di Indonesia. Perkawinan dalam Islam disebut nikah, yang berarti akad atau ikatan sah antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan dilakukan dengan ijab (penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (penerimaan dari pihak laki-laki). Selain sebagai ikatan hukum, nikah juga mencerminkan hubungan yang sah secara agama dan adat.

Di Indonesia, hukum perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan wajib dicatatkan secara resmi. Bagi umat Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi non-Muslim sesuai aturan agamanya. Hukum perkawinan Indonesia menganut asas monogami, meskipun poligami diperbolehkan dengan syarat tertentu. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, sehingga pasangan harus siap secara fisik dan mental serta berkomitmen untuk menjaga keutuhan rumah tangga.

Penulis juga memjelaskan bahwa Perceraian dalam Islam diperbolehkan tetapi sangat tidak disukai Tuhan. Awalnya, hak talak ada di tangan suami, sedangkan istri hanya dapat mengajukan gugatan cerai melalui khuluk. Namun, keseimbangan hak antara suami dan istri dalam perceraian kini semakin diakui melalui proses hukum di pengadilan. Islam menekankan pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga dan menyelesaikan masalah dengan cara yang baik agar perceraian menjadi pilihan terakhir.

Pada Bab III ini membahas tentang batas minimal usia perkawinan dalam hukum adat, Islam, dan peraturan di Indonesia. Dalam hukum adat, usia perkawinan tidak ditentukan secara spesifik, melainkan berdasarkan kedewasaan sosial dan ekonomi seseorang. Kedewasaan ini diukur dari kemampuan untuk hidup mandiri, mengelola harta, serta bertanggung jawab atas rumah tangga. Dalam Islam, usia menikah dikaitkan dengan fase baligh, yang ditandai dengan kematangan biologis, dan fase rusyd, yaitu kedewasaan berpikir dan bertindak. Terdapat perbedaan pandangan mengenai usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad, di mana sebagian ulama menyebut usia 9 tahun, sementara penelitian lain menunjukkan bahwa ia mungkin berusia sekitar 14 atau 15 tahun saat menikah.

Dalam bab ini di jelaskan Di Indonesia, hukum menetapkan batas minimal usia pernikahan sebagai 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, dengan syarat izin pengadilan bagi yang belum cukup usia dan izin orang tua bagi yang di bawah 21 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan kesiapan fisik dan mental calon pengantin agar dapat membangun rumah tangga yang stabil dan harmonis sesuai dengan tujuan perkawinan dalam Islam, yaitu menciptakan keluarga sakinah serta menjaga keturunan (hifz al-nasl).

Pada Bab IV ini dibahas tentang penerapan konsep hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan menurut Islam serta perspektif gender. Dalam Islam, pernikahan yang sah menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri yang harus dijalankan untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Suami berkewajiban memberikan nafkah, melindungi, membimbing, serta mendidik istri dan anak-anaknya, sementara istri bertanggung jawab mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anak. Keduanya harus saling mencintai, menghormati, dan menjaga kehormatan keluarga. Dalam kajian gender, keadilan dalam rumah tangga berarti adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, bukan berdasarkan kodrat semata, melainkan melalui konstruksi sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam bab ini juga menjelaskan tentang Perspektif gender yang menunjukkan bahwa perbedaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga sering kali berasal dari norma sosial dan budaya, bukan dari ketentuan agama yang mutlak. Beban kerja perempuan dalam rumah tangga sering kali lebih berat dibanding laki-laki, terutama di keluarga miskin, di mana perempuan harus mengurus rumah sekaligus mencari nafkah tambahan. Kesetaraan dalam rumah tangga berarti membagi peran dan tanggung jawab secara adil sesuai dengan kemampuan masing-masing, tanpa mengorbankan hak salah satu pihak. Prinsip ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Allah, kecuali dalam hal ketakwaan.

Pada Bab V ini dibahas tentang problematika nikah siri di Indonesia, yang berkaitan dengan keabsahan pernikahan serta pandangan hukum terhadap praktik tersebut. Nikah sirri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi di Pegawai Pencatat Nikah (PPN), sehingga secara hukum dianggap lemah dan tidak memiliki kepastian hukum. Meskipun secara agama pernikahan ini tetap sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah, namun secara administratif dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama bagi perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jika terjadi perceraian atau sengketa, pihak perempuan sering kali dirugikan karena tidak memiliki bukti hukum yang kuat. Oleh karena itu, pencatatan pernikahan menjadi penting agar pasangan suami istri mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.

Pada bab ini juga di jelaskan Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, nikah siri dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebuah pernikahan tidak hanya harus sah secara agama tetapi juga wajib dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dalam Islam sendiri, perkawinan merupakan perjanjian luhur (mitsaqan ghalidhan) yang memiliki kedudukan tinggi, sehingga pencatatannya bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari kepatuhan terhadap hukum Islam dan negara. Oleh karena itu, pencatatan pernikahan bukan hanya demi kepentingan administratif, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan bagi pasangan suami istri serta anak-anak mereka dari berbagai konsekuensi hukum di masa depan.

Pada Bab VI ini dibahas tentang problematika nikah mut'ah di Indonesia, yaitu pernikahan sementara yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan pasangan. Berbeda dengan pernikahan biasa, nikah mut'ah tidak mewajibkan hak waris, tidak memerlukan talak untuk berpisah, serta tidak ada nafkah iddah. Awalnya, nikah mut'ah diperbolehkan dalam Islam, terutama dalam kondisi tertentu seperti peperangan, namun kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw. secara bertahap.

Pada bab ini juga menjelaskan dari segi hukum Islam, jumhur ulama mengharamkan nikah mut'ah karena bertentangan dengan tujuan perkawinan yang bersifat permanen dan penuh tanggung jawab. Nikah mut'ah dianggap merugikan perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut karena tidak ada perlindungan hukum maupun nafkah. Meskipun ulama Sunni sepakat mengharamkannya, ulama Syi'ah masih membolehkannya dengan alasan tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit melarang praktik ini.

BAB VII ini membahas konsep keluarga sakinah dalam perspektif mubadalah, yang menekankan pentingnya relasi kesalingan dalam rumah tangga. Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh ketenangan, cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Menurut M. Quraish Shihab, perjalanan menuju keluarga sakinah melalui beberapa tahap, mulai dari bulan madu, gejolak, perundingan, penyesuaian, peningkatan kasih sayang, hingga kemantapan. Keluarga yang harmonis bukan berarti tanpa konflik, tetapi mampu membangun hubungan yang adil dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran Islam.

Bab ini juga menjelaskan dalam perspektif mubadalah, hubungan suami istri harus berdasarkan kesalingan, bukan dominasi. Konsep ini menekankan kemitraan dalam semua aspek kehidupan rumah tangga. Islam menetapkan empat pilar pernikahan, yaitu ikatan kuat (mitsaqan ghalizhan), hubungan berpasangan (zawaj), interaksi yang baik (mu'asyarah bil ma'ruf), dan pengambilan keputusan bersama (taradhin). Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, keluarga dapat mencapai keseimbangan, keharmonisan, dan kebahagiaan bersama.

Pada Bab VIII ini dibahas tentang problematika penerapan hadhanah di Indonesia, yang berkaitan dengan hak asuh anak setelah perceraian. Hadhanah dalam Islam berarti pemeliharaan dan pendidikan anak agar tumbuh dengan baik, terutama oleh ibu, selama ia belum mandiri. Namun, jika ibu tidak memenuhi syarat tertentu seperti tidak berakal, tidak dewasa, atau tidak memiliki kemampuan mengasuh, maka hak asuh bisa dialihkan kepada ayah atau pihak lain yang lebih layak. Islam menekankan bahwa tanggung jawab terhadap anak adalah kewajiban bersama antara ayah dan ibu, baik dalam aspek moral maupun materi.

Bab ini juga menjelaskan dalam hukum positif Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian tetap menjadi tanggung jawab orang tua, kecuali jika ada kelalaian atau perilaku buruk yang mengancam kesejahteraan anak. Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa meskipun hak asuh biasanya diberikan kepada ibu, ayah tetap bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Jika terjadi perselisihan, pengadilan akan memutuskan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan perlindungan anak sebagai amanah yang harus dijaga oleh orang tua.

Bab VIIII ini membahas problematika nikah hamil di Indonesia. Nikah hamil terjadi ketika seorang wanita hamil sebelum menikah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, ada yang membolehkan langsung menikah tanpa iddah, ada yang melarang hingga melahirkan. Mazhab Syafi'i dan Hanafi cenderung membolehkan, sementara Maliki dan Hanbali lebih ketat dengan syarat iddah dan taubat.

Bab ini juga menjelaskan dalam hukum Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membolehkan pernikahan wanita hamil dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak. Pendekatan ini bertujuan melindungi status hukum anak dan mengakomodasi hukum adat yang menganggap anak dalam pernikahan sebagai bagian dari keluarga suami.

Bab X ini menjelaskan problematika hukum poligami di Indonesia, termasuk sejarahnya di berbagai peradaban, pandangan fikih klasik, serta perspektif gender. Poligami telah dikenal sejak zaman dahulu dan dibolehkan dalam beberapa ajaran agama, termasuk Islam, dengan batasan maksimal empat istri serta syarat keadilan. Islam menekankan bahwa monogami adalah prinsip utama, sementara poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti istri mandul, dengan syarat suami mampu bersikap adil dalam nafkah dan pembagian waktu. Namun, secara fitrah, manusia memiliki kecenderungan cemburu dan iri hati, sehingga poligami sering menimbulkan konflik dalam keluarga.

Pada bab ini menjelaskan dalam perspektif gender, feminis menilai bahwa poligami bukan anjuran, melainkan peringatan akan sulitnya berbuat adil secara imaterial. Islam sendiri lebih merekomendasikan monogami sebagai bentuk pernikahan yang ideal dan harmonis. Di Indonesia, meskipun hukum membolehkan poligami dengan syarat tertentu, praktiknya sering kali menimbulkan masalah, seperti nikah siri yang merugikan perempuan dan anak. Oleh karena itu, poligami dalam konteks sosial dan hukum Indonesia masih menjadi perdebatan yang kompleks.

Bab XI membahas problematika hukum kewarisan di Indonesia yang bersumber dari konsep Islam tentang pemindahan hak atas harta peninggalan pewaris kepada ahli waris sesuai ketentuan tertentu. Hukum Islam mengatur warisan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis, sedangkan hukum positif mengacu pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Islam menetapkan perbedaan agama sebagai penghalang warisan, namun terdapat pandangan yang membolehkannya dalam kondisi tertentu. Konsep wasiat wajibah hadir untuk memberi hak warisan kepada cucu atau anak angkat yang tidak mendapat bagian, dengan batas maksimal sepertiga dari harta pewaris. Yurisprudensi menjadi pedoman hakim dalam memutus perkara waris bagi non-Muslim, sebagaimana terlihat dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengembangkan penerapan wasiat wajibah bagi keluarga non-Muslim. Pendapat Yusuf al-Qardhawi juga dijadikan pertimbangan bahwa non-Muslim yang hidup damai tidak termasuk kafir harbi sehingga tetap bisa menerima warisan. Namun, karena masih berupa yurisprudensi, penerapannya bergantung pada pertimbangan hakim dalam setiap perkara.

D. Kesimpulan

Buku ini menyoroti perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia melalui pendekatan progresif yang menyesuaikan dengan perubahan sosial dan hukum modern. Setiap bab membahas berbagai aspek hukum perkawinan Islam, mulai dari konsep perkawinan, pencatatan nikah, perceraian, batas usia pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, hingga problematika seperti nikah sirri, nikah mut'ah, poligami, dan kewarisan.

Secara keseluruhan, buku ini menegaskan bahwa hukum Islam harus fleksibel dan kontekstual agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan progresif dalam hukum keluarga Islam tidak hanya mempertimbangkan teks agama, tetapi juga aspek moral, keadilan, dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat dalam memahami serta menerapkan hukum keluarga Islam yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Di buat oleh : 

Nama : Meirda Maris Nur Rohmah 

Nim : 232121050 

Kelas : HKI 4B 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun